Pemilu dan Pilpres 2024, Faktor Sangat Strategis Bangsa

DR. Kristiya Kartika, S.H., M.Si.

Oleh: Kristiya Kartika*

==============================

PEMILIHAN UMUM (Pemilu) 2024 tetap menjadi permasalahan pokok dalam diskusi terbuka akhir-akhir ini. Arus deras pendapat maupun pemikiran dan usulan terbuka selama ini antara lain agar diadakan langkah stategis agar bangsa ini tetap satu dan maju dengan mengembalikan konstitusi nasional (UUD 1945).

Rangkaian amandemen atas UUD 1945 yang telah dilakukan sejak awal era reformasi, dijadikan penyebab dan pemicu utama terjebaknya NKRI menjadi sebuah negara dan bangsa yang menganut idiologi Kapitalisme-Liberalisme. Gerakan pemikiran ini sudah menjadi gerakan politik.

Bahkan dua Pimpinan Lembaga Negara, Ketua MPR RI dan Ketua DPD RI, secara eksplisit dan lantang menyerukan perubahan atas Konstitusi Nasional kita yang berlaku saat ini kembali ke Konstitusi Nasional awal sejak Proklamasi dikumandangkan. Atau kembali ke UUD 1945 awal kemerdekaan dengan sedikit penyempurnaan sebagai penyesuaian perkembangan zaman.

Tapi kalau harus diperlukan penyempurnaan lagi, harus terbatas pada aspek-aspek yang tergolong ‘nilai-nilai instrumen’, bukan ‘nilai-nilai dasar’ dari idiologi bangsa Pancasila.

Arus deras yang lain dan juga masih menjadi diskusi aktual saat tulisan ini dibuat, adalah dirubahnya sistem Pemilu dari demokrasi langsung, dengan memilih dengan foto individu dalam pencoblosan Pemilu, menjadi Demokrasi Perwakilan dengan mencoblos gambar partai peserta Pemilu; bukan gambar/foto individu. Dengan asumsi bahwa Pemilihan Presiden akan dilakukan oleh sebuah sidang umum Majelis Perwakilan Rakyat. Partai pemenang dua kali Pemilu 2014 dan 2019, PDI Perjuangan, yang mengajukan konsep tersebut. Meski ditentang oleh Partai-partai lainnya.

Seperti diketahui partai-partai saat ini sudah memulai persiapan dan kesiapan proses menuju Pemilu pada Pebruari 2024 yang akan datang. Dalam kalimat lain, banyak partai yang saat ini sudah terlanjur mempersiapkan langkah-langkah Pemilu yang on time, tepat waktu.

Disamping itu ditinjau dari aspek politik, ekonomi dan kultural, diskusi juga menyangkut ancaman yang bisa terjadi atas Indonesia, baik ditinjau dari perspektif ekonomi-politik global maupun kemungkinan-kemungkinan peluang, tantangan dan hambatan yang terkait, sekaligus bisa berupa ancaman ekonomi nasional, serta kultur kebersamaan dalam kepelbagaian yang mengancam kebhinekaan bangsa ini.
Tentu masing-masing pemikiran memiliki argumentasi yang memperkuat usulannya.

Pemilu yang Ideal

Menuju Pemilu, tentu ada harapan besar agar negara dan bangsa ini menjadi lebih bagus keadaannya, khususnya bagi mayoritas massa rakyatnya. Tentu yang dimaksud keadaan lebih bagus, meliputi aspek birokrasi, ekonomi-kesejahteraan, sosial, budaya, pendidikan, politik dan pertahanan-keamanan.

Pemilu diharapkan hasilkan anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang tidak hanya karena hasil pilihan rakyat yang one man one vote saja, tetapi dia harus benar- benar punya alasan kuat dan terbukti sudah dan akan konsisten tetap bekerja baik demi mayoritas-massa rakyat maupun kemajuan bangsa ini. Sebab sudah menjadi ciri khas pemilu yang bernuansa liberal, calon yang siap dengan dana sangat besar, hampir pasti memenangkan Pemilihan karena dengan “membeli” suara pemilih. Ini adalah realitas awal dari pendapat bahwa Pemilu sesungguhnya sebagai pemicu lahirnya tindak pidana korupsi.

Pemilu yang juga ideal, adalah pemilu yang biaya penyelenggaraannya tidak menyulitkan negara dan bangsa. Dari berbagai sumber yang kredibel, pemilu dengan pola ‘one man one vote’ menghabiskan biaya besar. Biaya besar harus dikeluarkan seorang calon maupun Negara (KPU). Bagi calon duitnya harus makin intensif menyentuh calon pemilih dengan skope yang luas. Sedang bagi KPU, penyediaan material untuk coblosan dan lainnya juga jauh lebih besar, misalnya untuk pencetakan kartu suara yang didalamnya disertakan foto calon dan daftar nama calon serta pemilih yang jumlahmya lebih dari 200 juta orang. Belum lagi harus memenuhi ketentuan pencetakannya rangkap dalam jumlah tertentu. Bagi partai pasti juga biayanya berlipat ganda.

Akibatnya, dikaitkan kondisi keuangan negara saat ini yang harus dikelola dan disiapkan pula untuk pembangunan proyek-proyek sangat besar, pasti akan terganggu untuk biaya Pemilu yang besar tadi. Sebagai contoh, IKN meski mayoritas diharapkan mengandalkan biayanya dari Investasi (asing dan donestik), tetapi Pemerintah harus menyiapkan biaya awal sebesar 20 % dari APBN. Waktunya juga relatif bersamaan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk Pemilu. Kondisi ini akan meresahkan para Stake Holders.

Hal yang sama untuk biaya-biaya proyek infrastruktur lainnya, seperti hilirisasi pertambangan, peningkatan sektor perhubungan. Bahkan yang lebih bisa mengganggu kalau biaya sosial untuk pendidikan, bantuan sosial, dan lain-lain juga terganggu.

Itu sebabnya kini policy pemerintah dalam merealisir biaya yang harus dikelola KPU untuk Pemilu mengalami persoalan, khususnya dalam realisasi tahap awal, jumlahnya masih belum memenuhi pengajuan.

Pemilu yang sudah terlaksana beberapa kali tidak terlepas dari isu-isu kecurangan terkait manipulasi suara serta proses-proses sebelumnya. Menjadi rahasia umum, bahwa KPU berpeluang memainkan perannya untuk memenangkan atau mengalahkan calon tertentu. Yang semuanya bermuara pada kepentingan Partai, Kelompok Pengusung terkait dengan korupsi dana-dana pemenangan.

Tidak ada yang berani menjamin manipulasi tersebut tidak akan terjadi pada Pemilu 2024. Itulah sebabnya, berbagai pihak mengajukan alternatif pelaksanaan Pemilu yang lebih proporsional sesuai asas demokrasi Indonesia yakni demokrasi perwakilan; bukan demokrasi liberal.

Faktor Strategis Yang Lain

Pada tahapan Pemilu 2024 yang sudah disepakati dan ditetapkan, saat ini para pihak sudah selesai melakukan aktivitas legal-administratif. Seperti daftar nama-nama calon Anggota DPR/DPRD, dan sebagainya.

Jika dianggap pedoman dan ketentuan Pemilu 2024 yang sudah diputuskan dan sudah dilaksanakan sebagian proses maupun pelaksanaannya, masih diperkirakan secara substansial berbeda bahkan bertentangan secara idiologi khususnya dengan Pembukaan UUD 1945, dan diupayakan perubahannya, bisa dibayangkan berapa kerugian moril dan meteriil para pihak yang sudah menyiapkan pemenuhan persyaratan administrasi maupun lain-lainya yang cukup besar dan melelahkan. Kondisi ini bisa melahirkan kondisi kontradiksi yang mengancam berbagai aspek khususnya kekerasan dan keamanan dalam masyarakat yang juga bisa berakibat pada aspek lain seperti ekonomi dan sosial.

Langkah bijaksana yang bisa melaksanakan Pemilu dan Pilpres dengan adil, tidak curang, tidak melahirkan konflik dan kekerasan sosial, anti korupsi serta tidak bertentangan semangat demokrasi Perwakilan (bukan demokrasi liberal), tidak menimbulkan campur tangan pihak- pihak asing, tidak menganggu pembangunan nasional, khususnya masalah bantuan sosial dan pendidikan masyarakat, harus segera ditetapkan.

Bagi pihak yang sudah setuju dan siap melaksanakan Pemilu dan Pilpres 2024 sesuai dengan kesepakatan yang ada, baik jadwal maupun ketentuan legal-administratif dalam sistem lama yang sudah 3 kali diterapkan, harus memiliki komitmen untuk seoptimal mungkin menghindari hal-hal negatif, seperti kecurangan dalam segala proses, korupsi, dan lainnya.

Sedangkan bagi pihak yang masih menganggap Pemilu dan Pilpres 2024 harus alami penyempurnaan lagi, yang konotasinya adalah perubahan, dalam berbagai ketentuan strategisnya, harus terbebani tanggungjawab bahwa Pemilu dan Pilpres tidak alami penundaan yang mencolok, atau bermuara pada rencana “politis” masa jabatan dan lainnya. Misalnya ada usulan perubahan strategis yang harus dibicarakan dan disidangkan untuk disepakati oleh MPR.

Pertanyaannya, apakah ideal dari segi waktu ?

Hal diatas masih harus didiskusikan lebih lanjut dengan hati-hati, tajam, atas dasar pertimbangan adanya perkembangan politik dan keamanan global aktual yang pasti berpengaruh kedalam situasi politik, ekonomi, sosial dan kemanan domestik. Lebih eksplisit lagi setelah beberapa hari yang lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin secara resmi menyatakan Perang Dunia III dengan Barat dimulai, bersamaan dengan terlibatnya sebagian besar negara- negara NATO, khususnya Amerika, dalam bantuan persenjataan ke Ukrania untuk melawan Rusia.

Sedangkan Amerika Serikat melalui pernyataan resmi dari Presiden Biden juga menyatakan Perang Dunia III dengan Rusia dimulai pada saat Rusia menyerang NATO.

Meski ada konotasi dari statement para pihak akan siap memulai Perang Dunia III dengan memaknakan Perang Dunia III adalah seolah-olah terbatas “Perang dunia antara Rusia dan AS”, namun tidak dapat dibantah, perang tersebut akan melanda negara-negara lain.

Ada tiga penyebab:

Yang pertama kalau Rusia sudah memasuki era Perang Dunia III, tentu negara-negara lain yang merasa memiliki kepentingan yang sama, akan membantu Rusia dalam melawan NATO, yang adalah Amerika dan beberapa Negara lain, khususnya di daratan Eropa Barat. Kalkulasi dini namun make sense (masuk akal) adalah terlibatnya Iran, Korea Utara, Venezeula, Kuba, Belarusia, Myanmar, Suriah, dan bahkan bukan mustahil China, serta negara-lain yang mendukung posisi Rusia. Sementara di barisan Amerika, akan terlibat Inggris, Perancis, Canada, Belanda, Belgia, Italia, Portugal, Republik Ceko dan lainnya lagi.

Yang kedua, kebutuhan ekonomi menyangkut energi dan bahan pangan serta elemen-elemen perdagangan antar negara, akan terganggu secara serius. Sehingga demi kepentingan rakyatnya, negara-negara tertentu akan terjun dalam pengamanan kepentingan nasionalnya dengan mengerahkan keluatan keamanannya, yakni personal militer dan peralatan tempur yang ada untuk melawan pihak yang merugikannya.

Yang ketiga, akan meningkatnya suhu konflik antar negara berdekatan menyangkut pengamanan kepentingan nasionalnya masing-masing. Sebagai contoh kasus Taiwan bisa menjadi ajang konflik keamanan antara China dengan Negara-negara tertentu yang memiliki berbagai kepentingan dengan Amerika dan negara-negara NATO.

Khusus bagi Indonesia, kita tidak boleh lengah, meski tidak harus memiliki sikap final negatif kepada Australia, khususnya menyangkut konflik yang masih tahap awal dari pulau Pasir dibagian selatan NTT yang sudah sempat diduduki Australia.

Juga kalau Perang Dunia meletus, kondisi ekonomi nasional, khususnya ekspor beberapa tambang seperti minyak bumi, gas alam, batu bara, besi, tembaga, bauksit, marmer, mineral, ke negara-negara Eropa Barat, Australia, China, Filipina dan lainya akan terganggu. Sehingga optimisme kedepan program hilirisasi yang akan dilanjutkan dengan ekspor yang lebih memiliki nilai ekonomi lebih tinggi ke berbagai negara, dan menjadi penyangga Indonesia menjadi “5 Negara dengan Ekonomi tertinggi di dunia”, bisa sirna. Padahal prediksi Indonesia akan menjadi negara nomer 4 dari 5 Negara termaju didunia pada 2030 adalah hasil perhitungan, studi dan analisis dari WTO dan Bappenas.

Hal-hal diatas menuntut kita berpikir keras tapi strategis, obyektif dan tidak subyektif pada kepentingan masing-masing kelompok.

Pemilu dan Pilpres 2024 secara obyektif lebih menguntungkan atau merugikan kepentingan bangsa sekaligus rakyat kedepan jika tetap dilaksanakan sesuai perencanaan yang sudah ada ?? Ataukah diadakan perubahan perencanaan tetapi Pemilu harus tetap memiliki substansi kedaulatan ditangan Rakyat dan menjamin persatuan, kesatuan serta kemajuan Negara dan kemakmuran rakyat ?!

Idealnya, diperlukan kebijakan Negara sesuai dengan ketentuan yang berlaku, meski tidak kaku, untuk menyiapkan sebuah sistem Pemilu yang adil, tidak korupsi dan tidak memiliki agenda-agenda terselubung baik politik, ekonomi dan lainnya. Termasuk kebijakan yang bisa memperbaiki perencanaan yang sudah ditetapkan.

Jika benar-benar sangat diperlukan penyempurnaan sistem ‘included’ dasar hukum Pemilu termasuk Pilpres 2024, berdasarkan pertimbangan obyektif dan untuk kepentingan nasional, perubahan tersebut bisa di lakukan lewat langkah hukum Dekrit Presiden, karena dianggap kondisinya darurat agar Pemilu dan Pilpres tidak ditunda. Dengan Dekrit Presiden memang Pemilu dan Pilpres 2024 tidak alami penundaan yang bisa dikonotasikan negatif.

Siapkah dilaksanakan Dekrit Presiden ??

Banyak pertimbangan politik yang harus diikutsertakan. Sebagai pertimbangan pengalaman politik yang pernah terjadi di Indonesia, kita dua kali dengan hasil Dekrit Presiden 1959 berhasil, sedangkan Dekrit Presiden yang direncanakan Presiden Abdurrahman Wahid gagal, dengan segudang implikasinya. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 berhasil, selain kondisi di daerah-daerah tidak kondusif, antara pro dan anti Pemberlakuan kembali UUD 1945, juga yang turut mewarnai adalah sikap Pimpinan TNI saat itu. Pimpinan TNI mendukung Dekrit Presiden 1959.

Hal-hal diatas sangat perlu dipertimbangkan secara terbuka guna diskusi yang melahirkan kesimpulan terbaik untuk bangsa. Bangsa ini harus memilih !!!!

=============================

*)Kristiya Kartika, adalah Mantan anggota Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) tahun 1999. Mantan Ketua Presidium GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), dan mantan Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo), Sekjen Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN), Vice President TCDPAP (Technical Consultancy Development Program fir Asia-Pacific), Tim Kerja Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MENPANRB).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *