Oleh: Kristiya Kartika*
==================================
JUDUL tulisan ini bisa menimbulkan penafsiran bahwa Pancasila sebagai Dasar dan Idiologi Negara Indonesia masih patut dipertanyakan. Padahal Pancasila sebagai idiologi negara dan bangsa menurut penuturan faktual sejarah adalah merupakan kesepakatan dan sebuah kompromi nasional yang diwakili tokoh-tokoh berbagai aliran, pemikiran bahkan kultur se-bumi Nusantara. Namun secara faktual juga, Judul ini sesungguhnya memiliki korelasi dengan situasi aktual saat ini.
Masih ada komunitas-komunitas masyarakat, baik secara eksplisit maupun implisit, yang tetap mempermasalahkan, membandingkan atau bahkan cenderung menggabungkan/ mengaburkan antara nilai-nilai dasar Pancasila dengan nilai-nilai dasar dari idiologi dan pandangan hidup negara lain. Sehingga ada kekaburan antara nilai-nilai pandangan hidup yang sudah lama dianutnya sejak kecil dalam keyakinan hidup sehari-hari, dengan nilai-nilai dari idiologi atau pandangan hidup negara dan bangsa lain yang kini sedang masuk dan serius merambah serta berpengaruh di bumi Nusantara. Kondisi tersebut sebenarnya sudah terjadi sejak beberapa dekade yang lalu. Bahkan bukan hanya pengaruh tata nilai dari idiologi asing yang kini mempengaruhi pandangan hidup dan perilaku individu dan masyarakat.
Feodalisme, tata nilai kebangsawanan masa lalu yang pernah mendominasi di komunitas sekitar Kerajaan dan masyarakat juga masih berkembang mendampingi nilai-nilai idiologi asing. Dalam implementasinya saat ini, diantara individu-individu dan komunitas-komunitas ada perbedaan dalam pemikiran, konsep dan perilaku atas hal-hal tertentu. Lebih dari itu, paling tidak dalam tafsir tertentu dari nilai-nilai dasar Pancasila, bisa menghasilkan nilai-nilai instrumen baru yang berbeda. Bahkan perbedaan yang ada meski tidak diakui dengan tegas, tapi faktanya banyak komunitas dengan berbagai ukuran kuantitatif keanggotaannya, dalam implementasi kesehariannya atas hal-hal tertentu berbeda dengan substansi nilai-nilai Pancasila. Meski selalu diikrarkan bahwa kebijakan dari komunitas tersebut hanya berlaku secara internal pada komunitas tertentu dan diharapkan tidak mempengaruhi komunitas lain.
Komunitas Kekuasaan
Lebih parah lagi, kalau yang dimaksud dengan komunitas itu, adalah komunitas yang sedang menguasai pemerintahan. Sehingga penafsiran atas nilai-nilai dasar Pancasila dalam perilaku dan pemikiran sehari-hari menjadi semacam lebih resmi untuk disosialisasikan dan diterapkan serta mengikat hukumnya untuk dilaksanakan seluruh Rakyat. Salah satu contoh yang sudah dilaksanakan adalah saat diberlakukannya Kebijakan P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) oleh Pemerintah Orde Baru. Meski secara umum agak sulit ditemukan perbedaannya dengan rumusan nilai-nilai Pancasila yang berkembang sebelumnya, tetapi sesungguhnya ada perbedaan aksentuasi atas nilai-nilai idiologi yang cukup mendasar dari “penafsiran” P-4.
Penerapan P-4 memang bukan mustahil sama dengan penafsiran sebelumnya di “komunitas-komunitas tertentu.’ Tapi pada kenyataannya, penafsiran tersebut juga memiliki perbedaan-perbedaan substansial bagi Komunitas yang lain. Salah satu yang menjadi simbol perbedaan kala itu. Yakni berlakunya dan terus disuburkannya politik-ekonomi peningkatan keterlibatan korporasi-korporasi dari luar negeri dalam perekonomian Indonesia. Sehingga menjadikan peran Rakyat, khususnya di pedesaan, menjadi terhambat bahkan mati.
Sementara komunitas lain, menawarkan dan berusaha mengembangkan Sistem Ekonomi Islam untuk mengatasi makin terpikirkannya nasib apalagi peran mayoritas massa-Rakyat di pedesaan. Bersamaan dengan itu, pembentukan watak, perilaku, sikap dan sifat serta keyakinan yang menjadi pedoman dan arah keseharian masyarakat semakin cenderung liberalistik, individualistik. Kebijakan yang mengutamakan kesejahteraan bersama sangat berkurang, bahkan juga cenderung dianggap sesuatu yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan keadaan masa kini.
Ditambah tidak diprogramkannya dengan serius strategi dan taktik pengembangan kemampuan/ kecerdasan kaum muda dalam mengantisipasi perkembangan global. Seharusnya Negara dan bangsa ini mengandalkan modal utamanya dalam bentuk kecerdasan warganya guna menguasai ilmu dan teknologi sekaligus strategi/manajemen pengembangannya agar potensi perekonomian Indonesia memiliki image masyarakat dunia sebagai “captive market”.
Perlu ada penegasan pasar utama yang kita harapkan dari produk- produk dalam negeri bukan semata-mata pasar di luar negeri saja. Karena jika program peningkatan kualitas manusia Indonesia dilaksanakan serius oleh Pemerintah, maka pasar dalam negeri juga menjadi andalan dari produk-produk dalam negeri.
Sebenarnya Pancasila telah menekankan sejak awal dijadikannya Koperasi sebagai alat strategis dalam perekonomian yang mengutamakan kepentingan anggota dan Masyarakat luas. Koperasi sejak awal di jadikan komunitas ekonomi mayoritas-massa rakyat yang miskin di pedesaan. Bahkan oleh para perintis kemerdekaan idealisme keberpihakan pada Rakyat itu telah dituangkan dalam Undang- undang Dasar 1945 sejak awal. Masa-masa sebelumnya, upaya penggantian Konstitusi/Undang-undang Dasar RI juga telah berlangsung.
UUD adalah rumusan resmi dan mengikat yang merupakan ketentuan dasar dari penafsiran dan penjelasan yang lebih operatif dari Nilai-Nilai dasar Pancasila.
Perumusan Pancasila dalam dokumen resmi UUD telah mengalami pergantian. Sampai dengan saat ini telah berlangsung tiga kali. Yang pertama, pada Pembukaan UUD 1945, kedua tahun 1949 (Pembukaan UUD RIS), dalam Mukadimah UUD Sementara 1950, dan sejak 5 Juli 1959, melalui Dekrit Presiden Soekarno, kembali ke rumusan Pancasila UUD 1945 yang resmi dan otentik hingga kini.
Penetapan P-4 meski tidak diawali pergantian UUD, namun sesungguhnya mengandung indikasi kuat adanya penafsiran yang baru atas nilai-nilai Pancasila. Sesudahnya, baru ada empat kali amandemen atas UUD. Empat kali amandemen ini dijadikan tonggak lahirnya era reformasi.
Dr. Kirdi Dipoyudo, seorang Intelektual Filsafat dari CSIS menyimpulkan secara substansial, peran/posisi Pancasila sebagai idiologi, dasar negara, pandangan hidup memiliki konsekuensi bahwa Negara harus tunduk pada Pancasila; Pancasila merupakan Sumber Tertib Hukum; Pancasila Jiwa Kehidupan Negara; dan Pancasila Dasar Pembangunan Nasional. Dengan demikian Negara melalui Lembaga- lembaga yang secara konstitusional memiliki kewenangan mutlak harus menjaga secara konsekuen dan obyektif agar nilai-nilai dasar Pancasila tidak terkontaminasi dan terpengaruh nilai-nilai idiologi lain yang bertentangan, dalam bentuk dan semua permasalahan, meski dengan berbagai metode, teknologi, cara dan bentuk apapun.
Jika kita mengkaji realitas dan perkembangan masa kini beserta kemungkinan kecenderungannya kedepan, sesungguhnya Pancasila sedang dalam himpitan berprakteknya idiologi asing dan idiologi lain yang bertentangan. Indonesia dalam himpitan Kapitalisme Global dan Feodalisme.
Kritis , Kreatif dan Konsisten
Pemikiran, penelitian serta kajian yang senada dengan judul tulisan ini, pernah juga dilakukan oleh D J o s e Eliseo Rocamura (Cornell University) yang kemudian dituangkan dalam bukunya berjudul “Nasionalisme Mencari Ideologi” (2021). Fokus kajian pada bangkit dan runtuhnya PNI peride 1946-1965. Buku ini, oleh Airlangga Pribadi Kusman, Ph.D yang memberikan Kata Pengantar, disebut sebagai “mutiara berharga” dalam khasanah klasik kajian tentang politik Indonesia dan khususnya sejarah kepartaian politik Indonesia.
Kalau kita kembali pada sejarah persiapan kemerdekaan, jelas bahwa Indonesia menolak Individualisme dan liberalisme serta Komunisme. Kesimpulan ini diputuskan, karena sebelum merdeka masyarakat Indonesia sesungguhnya telah memiliki struktur Sosial yang membentuk kepribadian masyarakatnya yang sudah diperbaiki dari warisan ideologi yang tidak sesuai dengan semangat Kemerdekaan, khususnya tatkala masa penjajahan 2,5 abad. Sehingga dasar negara sekaligus ideologi negaranya harus menyesuaikan dengan budaya yang telah dimiliki masyarakat yang antara lain budaya kekeluargaan, yang bermakna anti individualisme dan liberalisme, meski tetap menolak nilai negatif “kebangsawanan”. juga masyarakat telah terwarisi budaya saling menghargai kebiasaan dan toleransi, bukan semata-mata masyarakat diatur oleh kekuasaan Negara seperti yang dilaksanakan dalam Negara-negara berdasarkan Komunisme. Dan masyarakat tidak bisa ditindas atau ditekan oleh kepentingan yang sedang berkuasa dalam Negara. Lalu Pancasila bukan bagian dari Individualisme – liberalisme yang merupakan inti dalam Kapitalisme, juga bukan bagian dari Negara Komunisme. Tidak berlebihan, jika dikatakan Pancasila adalah “idiologi lain” dari Kapitalisme dan Komunisme, dan juga ideologi lainnya seperti Feodalisme.
Bangsa Indonesia bangga dengan dasar negaranya yang bertitik tolak pada kepentingan dan pengalaman serta budaya masyarakatnya. Namun dalam perjalanannya, implementasi Pancasila dalam kebijakan pemerintahan, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan-keamanan dinilai secara obyektif telah terpengaruh Individualisme-liberalisme, bahkan juga masih ada sisa-sisa feodalisme, peninggalan pandangan hidup dan keyakinan keluarga Kerajaan zaman dahulu yang bisa bekerjasama dengan Penguasa Kolonial/ Penjajah dengan akibat merugikan kehidupan mayoritas massa Rakyat.
Disisi lain, Komunisme juga pernah berpengaruh di Indonesia. Maka lahirlah pertanyaan yang cukup kritis, sinis tapi realistik, yakni apakah kita selama ini sedang mencari nilai-nilai ideologi-ideologi lain agar Pancasila semakin ideal untuk mengantisipasi perubahan dunia? Apakah ini berarti, selama ini Pancasila sedang mencari ideologi ???
Akar Budaya Nasional
Para perintis kemerdekaan berpendapat bahwa, dalam mecari dasar dan tujuan negara yang akan didirikan harus dilihat kenyataan struktur sosial masyarakat Indonesia, agar negara dapat menjadi kuat dan kukuh serta berkembang sebagai ruang gerak bagi rakyat sesuai dengan kepribadiannya. Struktur masyarakat Indonesia yang asli tak lain ialah hasil perkembangan kebudayaan Indonesia sepanjang masa.
Perspektif filsafati, menegaskannya kebudayaan Indonesia merupakan pandangan hidup yang mengutamakan sikap “keselarasan” sebagai kunci bagi kebahagiaan manusia, antara manusia dengan alamnya, manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan masyarakatnya, serta antara kehidupan lahiriah dan kehidupan rohaniah. Ini merupakan substansi karakter bangsa Indonesia yang harus mewarnai semua perilaku diberbagai bidang. Baik dalam bentuk perilaku resmi kenegaraan maupun sikap/ perilaku individual maupun perilaku komunitas-komunitas yang ada. Aliran pemikiran dan perilaku integralistik antara rakyat dan sesama rakyat meski berbeda golongan; antara rakyat dengan dengan pihak yang ditunjuk sebagai pemerintah dan antar internal pemerintah sendiri di segala lini, menjadi mata kunci kebudayaan Nusantara. Sehingga setiap perbedaan, kalau ada, bisa diselesaikan atas asas kebersamaan. Bukan atas asas yang terbanyak yang menang.
Dalam perkembangan jaman, dunia tidak bisa mengelak pada perubahan dan kemajuan. Kemajuan Ilmu dan teknologi membuka perspektif dinamika yang begitu maju dalam dimensi kemajuan individual dan korporasi. Secara perlahan perubahan dan perkembangan yang didominasi teknologi komunikasi makin merambah dan mempengaruhi perilaku individual di muka bumi, yang secara automatically juga berdampak pada aspek kebudayaan manusia.
Dalam konteks ini, yang harus diantisipasi dengan dinamis, kontekstual, obyektif, dan bijaksana adalah bagaimana perubahan yang hampir pasti mengganggu bahkan merubah nilai-nilai instrumen idiologi Pancasila itu, bisa tetap dalam konstelasi kokoh tetap sesuai dengan substansi nilai-nilai dasar Pancasila. Sebab kalau tidak, akan terjadi perbedaan persepsi antar individu secara luas tentang hal-hal yang mungkin semula bisa dikategorikan “ringan”, berubah menjadi hal-hal yang bisa dikategorikan bersifat “idiologis”. Misalnya, persaingan individu dalam berbagai konteks yang menonjolkan kelebihan-kelebihan subyektif atas personal, keluarga, golongan, bisa meningkat ke persaingan yang negatif antar suku, agama, wilayah bahkan “trah keluarga”. Dan jika itu terjadi, berarti nilai-nilai ideologi Negara telah mengalami perubahan dalam keyakinan pola berpikir serta implementasinya. Padahal budaya kita mengutamakan “keselarasan” dan “kebahagiaan” sesama warga bangsa, yang anti persaingan yang bisa menjadi bekal perpecahan.
Negara wajib tegas melalui berbagai peraturan PerUndang-Undangan melarang faktor-faktor yang memungkinkan lahirnya kondisi-kondisi tersebut diatas. Perpecahan Negara dan bangsa ini merupakan ancaman serius. Meski fenomena perubahan dan pembaharuan sudah mendunia, tapi Negara kalau memiliki “political will” yang tegas dan jelas, maka kita mampu mencegah terjadinya fenomena-fenomena tersebut. Mungkin salah satu contoh yang sudah dan bisa dilaksanakan adalah kebijakan yang tegas, meski tetap akomodatif pada kemajuan, seperti di Tiongkok dan negara-negara Skandinavia (Swedia, Norwegia, Denmark).
Para Pemikir yang terlibat dalam sejarah perjuangan bangsa, antara lain DR. Roeslan Abdulgani menegaskan Pancasila sebagai ideologi, melahirkan pandangan hidup yang antisipatif terhadap digitalisasi dan kemajuan teknologi lainnya di dunia.
Keyword nya, Negara dan Warga negara harus meningkatkan “daya saing” dalam konteks Pancasila melalui sistem pendidikan yang akomodatif terhadap kemajuan industri yang dibutuhkan pasar dunia, tapi harus tetap tetap dalam “frame” (bingkai) Pancasila. Ilmu pengetahuan yang mendukung meningkatnya daya saing harus diintensifkan bersama-sama dengan intensifikasi lImu pengetahuan yang mendukung pembelajaran Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa.
Juga sangat diperlukan sikap Negara melalui Pemerintah untuk menciptakan iklim kondusif bagi kemandirian ekonomi nasional. Bukan sekadar menolak kerjasama baik Investasi maupun produk-produk asing, karena sejak pra- kemerdekaan para pendiri Republik menyadari sepenuhnya bahwa kita tidak dilarang bekerja sama dengan pihak-pihak asing, selama bermanfaat bagi Negara/ bangsa ini. Tapi tetap diharuskan sikap Negara yang selalu tegas bersikap selektif, sehingga kerjasama baik investasi maupun produk-produk asing yang masuk diutamakan untuk mendukung daya saing produk-produk dalam negeri. Serta pengembangan industri hilir yang menitikberatkan pada produksi barang “setengah jadi” dan “jadi” untuk diekspor maupun untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. (***)