MonWnews.com, Surabaya – Maraknya kasus konsumen merasa dirugikan oleh pengembang perumahan atau apartemen lantaran apa yang diterima tidak sesuai penawaran mendapat perhatian khusus dari Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jatim.
“Kami mencermati banyak pengembangan perumahan dan apartemen saat ini yang asal membangun dan menjual kepada konsumen tanpa memperhatikan kewajibannya memberikan fasum (fasilitas umum) dan fasos (fasilitas sosial),” ungkap Ketua YLPK Jatim, Drs. Said Sutomo, Kamis (29/12/2022).
Pria yang juga menjabat Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI ini menjelaskan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) Pasal 46 ayat (1) menegaskan bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh, a) Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b) Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; c) lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk Badan Hukum atau Yayasan yang dalam Anggaran Dasar (AD)-nya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan AD-nya; d) Pemerintah dan atau instansi terkait apabila barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan atau korban yang tidak sedikit.
“Untuk membuktikan adanya pelanggaran oleh pengembang bisa dilihat di brosur, papan promosi ketika memasarkan huniannya dan bisa dilihat di perjanjian Akta Jual Beli (AJB),” papar Said, panggilan karibnya.
Ia menambahkan setelah ditemukan adanya pelanggaran tersebut, maka konsumen berhak melakukan tuntutan kepada pelaku usaha itu dengan cara upaya hukum gugatan ke BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) atau langsung melakukan gugatan pengadilan setempat.
Gugatan itu menurutnya bisa dilakukan sendiri-sendiri oleh masing-masing konsumen, bisa dilakukan secara berkelompok, atau memguasakan gugatannya melalui Pengacara atau LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat).
“Pelaku usaha yang terbukti melanggar UUPK sanksinya cukup berat karena diancam hukuman pidana penjara paling lama 5 tahun dan atau pidana denda Rp 2 milyar. Tapi semua itu tergantung pada konsumennya, maunya bagaimana?,” tandasnya.
Said meyakini para developer perumahan dan apartemen pasti mempunyai dokumen klausula baku yang tercantum di dalam dokumen perjanjian sehingga mempunyai kewajiban menyesuaikan klausula baku tersebut dengan UUPK Pasal 18.
Dia mengingatkan jika belum disesuaikan dengan *Ketentuan Pencantuman Klausula Baku* sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) s/d ayat (4), maka para pelaku usaha developer perumahan dan atau apartemen dapat diduga melanggar UUPK dengan sanksi yang diatur di Pasar 62 UUPK yaitu ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun dan atau pidana denda Rp. 2 miliar.
“Termasuk dalam pembelian apartemen banyak sekali warga yang TERPEDAYA oleh PHP (Pemberi Harapan Palsu) para pelaku usaha apartemen terutama di kota-kota besar,” serunya lantang.
Oleh karena itu, YLPK Jatim selalu memberikan keberdayaan kepada masyarakat konsumen pada waktu pra transaksi.
“Agar konsumen harus bersikap TELITI SEBELUM MEMBELI, WASPADA SEBELUM TERPEDAYA!,” pesannya menutup perbincangan. (fyw)