Daerah  

SPBU Pertamina di Surabaya Nunggak Pajak, GMNI Minta Pemkot Tak Cuma Beri Tanda Silang

Surabaya – Kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang memasang tanda silang (X) di 97 Stasiun SPBU Pertamina karena menunggak pajak reklame selama lima tahun terakhir, menuai sorotan dari kalangan mahasiswa.

Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Surabaya menyebut tindakan penyegelan masih bersifat simbolik dan belum menyentuh substansi penyelesaian masalah. Pemkot seharusnya tidak berhenti pada tindakan seremonial seperti menandai SPBU, namun melanjutkan dengan langkah-langkah nyata yang mengarah pada penyelesaian kewajiban pajak secara solutif dan adil.

“Kami mencermati bahwa SPBU yang diberi tanda silang itu masih tetap beroperasi seperti biasa. Artinya, penyegelan ini hanya sebatas tanda simbolik, bukan penegakan hukum yang substantif. Pertanyaannya, apakah sekadar memberi tanda silang bisa menyelesaikan persoalan pajak?” ujar Sekretaris Jenderal DPC GMNI Surabaya, Alfito Rafif, Selasa (20/5/2025).

Menurutnya, Pemkot Surabaya sebagai penyelenggara pemerintahan daerah seharusnya menjalankan fungsinya tidak hanya sebagai penegak regulasi, namun juga sebagai fasilitator penyelesaian masalah. Penagihan pajak yang menumpuk selama bertahun-tahun seharusnya diiringi dengan upaya negosiasi, mediasi, dan rekonsiliasi administratif, bukan sekadar tanda X di tembok SPBU.

Alfito menegaskan bahwa kewenangan pemungutan pajak daerah memang dijamin oleh peraturan perundang-undangan. Namun demikian, ia mengingatkan bahwa pelaksanaan regulasi tersebut tetap harus sejalan dengan prinsip-prinsip Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), yang mewajibkan setiap tindakan pemerintah untuk mempertimbangkan asas kemanfaatan, proporsionalitas, dan kepastian hukum.

“Apa manfaat memberi tanda silang besar tanpa ada follow-up yang konkret? Harus ada tindak lanjut seperti surat teguran resmi, pemanggilan, atau mekanisme negosiasi pembayaran bertahap. Ini bukan hanya soal pajak, tapi soal tata kelola pemerintahan yang efektif dan solutif,” jelas Alfito.

DPC GMNI Surabaya juga menawarkan skema win-win solution antara Pemkot Surabaya dan pihak pengelola SPBU. Alfito menyarankan agar Pemkot membentuk tim mediasi khusus yang terdiri dari unsur Badan Pendapatan Daerah (Bapenda), Bagian Hukum Pemkot, dan perwakilan pengusaha SPBU, guna mencari penyelesaian administratif yang konkret.

“Solusi kami jelas: lakukan audit bersama, buka ruang negosiasi cicilan atau relaksasi pembayaran, dan selesaikan ini secara musyawarah. Kalau SPBU memang bersalah, mereka harus bayar, tapi dengan pendekatan yang realistis dan tidak mematikan usaha,” tegasnya.

Ia juga menambahkan bahwa Pemkot harus menjamin kepastian hukum dan keadilan dalam penegakan pajak, termasuk dengan melakukan transparansi data wajib pajak reklame yang lain. Jangan sampai langkah ini dianggap diskriminatif atau terkesan hanya menyasar SPBU Pertamina.

“Jangan hanya SPBU yang jadi target. Bagaimana dengan pusat perbelanjaan, hotel, atau restoran besar lain yang juga mungkin menunggak pajak reklame? Harus transparan dan menyeluruh. Supaya masyarakat tahu ini bukan tindakan simbolik atau politis,” ujarnya lagi.

Di akhir pernyataannya, Alfito menegaskan bahwa GMNI Surabaya akan terus mengawal kebijakan fiskal daerah agar tidak hanya bersifat represif, tetapi juga mencerminkan keberpihakan pada kepentingan masyarakat secara adil dan berkeadaban.

“Kami tidak menolak penegakan pajak. Tapi kami ingin pemkot menunjukkan bahwa mereka juga berpikir tentang keberlanjutan usaha, kepentingan umum, dan penyelesaian yang konstruktif. Surabaya butuh pemimpin yang solutif, bukan hanya simbolik,” tutupnya.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *