Refleksi Kolaborasi Tripusat Pendidikan Untuk Menanggulangi Merosotnya Nilai Integritas

Oleh : Kang SIR

===================================

Ki HADJAR DEWANTARA, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, mendalilkan bahwa “Setiap orang adalah guru, setiap rumah adalah sekolah.” Dalil ini bukan sekadar seruan moral, melainkan sebuah pandangan filosofis yang revolusioner, pendidikan sebagai usaha kolektif terus-menerus, yang bermula dari kesadaran bahwa karakter dan integritas manusia dibentuk dalam jejaring sosial yang luas, bukan hanya di ruang kelas sekolah.

Dalam konteks kekinian, hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 yang dilakukan oleh KPK menunjukkan, bahwa integritas pendidikan lemah: skor 69,5 indeks Korektif; lebih rendah dari 2023: skor 73,7 indeks Adaptif. Dan secara rinci ditemukan praktik menyontek pelajar di 78% sekolah dan mahasiswa di 98% Perguruan Tinggi. Lemahnya integritas dunia pendidikan tak hanya mempertaruhkan kualitas intelektual, tetapi juga masa depan bangsa Indonesia.

Tegasnya berpotensi menghasilkan SDM berintegritas rendah dan rawan terseret korupsi yang nota bene akar masalah bangsa Indonesia.

Fenomena lemahnya nilai integritas pendidikan tersebut, bukan hanya persoalan guru bersama tenaga pendidikan lain dan sekolah semata, tetapi juga mencerminkan kegagalan struktural dalam kolaborasi tripusat pendidikan: keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Pertama,_ keluarga sebagai pusat pendidikan awal lemah daya bina nilai integritas sejak dini.

Boleh jadi orang tua lebih utamakan prestasi akademik dibandingkan kejujuran dan ketekunan dalam proses pencapaian. Tanpa sadar keluarga ikut menyemai budaya pragmatisme: yang penting nilai tinggi, bukan bagaimana nilai itu diperoleh.

Kedua,_ sekolah sebagai pusat pendidikan formal belum sepenuhnya berhasil menanggulangi pengikisan nilai dan budaya integritas.

Standarisasi ujian, sistem evaluasi yang hanya mengutamakan capaian kognitif, dan lemahnya keteladanan, menjadi lahan subur bagi normalisasi perilaku curang.

Sekolah, yang seharusnya menjadi laboratorium pembentukan karakter, justru terkadang terjebak dalam logika angka semata.

Ketiga,_ masyarakat turut memperkuat bias nilai integritas.

Budaya instan, glorifikasi keberhasilan tanpa mempertimbangkan proses, maraknya contoh ketidakjujuran dan praktik KKN di ruang publik, serta lemahnya kontrol sosial dan penegakan hukum membentuk iklim sosial yang permisif terhadap pelanggaran integritas.

Jika demikian halnya, maka untuk meningkatkan daya mampu tanggulangi kemerosotan nilai integritas pendidikan, mendesak perlu revitalisasi dialektika Tripusat Pendidikan secara sadar, terencana dan bersinambung.

Keluarga harus menghidupkan kembali fungsi pendidikan karakter dasar, nilai moral, dan sikap sosial anak; menjadikan nilai kejujuran sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan sehari-hari, bukan sekadar mengandalkan sekolah.

Sekolah harus mendesain ulang pendekatan pendidikan karakter, mengintegrasikan nilai-nilai integritas ke dalam program kurikuler maupun kokurikuler dan ekstrakurikuler, menciptakan sistem evaluasi yang menghargai proses maupun hasil belajar. Ditunjang tata kelola dan ekosistem sekolah yang menyuburkan budaya kejujuran dan bebas dari korupsi, serta keteladan guru dan kepemimpinan sekolah berbasis integritas, transparan dan akuntabel.

Masyarakat perlu terus berusaha memperkuat ekosistem yang konsisten melalui media, komunitas, dan ruang publik yang menempatkan integritas sebagai nilai dasar kehidupan sosial.

Disamping itu, perlu peningkatan kontrol sosial dan penguatan budaya malu atas sikap perilaku tidak jujur, serta penegakan hukum yang seadil-adilnya terhadap siapapun yang melanggar hukum, utamanya terhadap pelaku KKN.

Sinergi ini harus berjalan dalam kesadaran kolektif, bahwa membangun generasi berintegritas adalah upaya jangka panjang, memerlukan konsistensi, keteladanan, dan ekosistem yang sehat.

Dalil Ki Hadjar Dewantara menjadi sangat relevan di sini: ketika setiap orang sadar dirinya adalah guru dan setiap rumah menjadi sekolah karakter, maka integritas akan tumbuh tidak sebagai perintah, melainkan sebagai budaya hidup.

Hanya melalui kolaborasi Tripusat Pendidikan yang berkelanjutan dan reflektif, kita dapat membangun masyarakat masa depan yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat dalam nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab.

Suatu kolaborasi tripusat pendidikan yang subur bagi tumbuhkembang manusia Indonesia cerdas berintegritas.

Malang, 2 Mei 2025
Kang Sir

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *