Mengingat Hari Nusantara

Oleh: Probo Darono Yakti

Dosen Hubungan Internasional FISIP UNAIR
Deputi Direktur Program Emerging Indonesia Project

Tepat enam puluh lima tahun yang lalu, di Jakarta terdapat satu peristiwa bersejarah yang mungkin luput diperingati oleh khalayak. Hari itu adalah Hari Nusantara, yang berawal dari suatu deklarasi penting Indonesia di depan mata dunia internasional. Ialah Ir. Djuanda Kartawidjaja sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia yang pada waktu itu mengungkapkan tiga poin penting dalam pernyataannya. Pertama, bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri. Kedua, bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan. Ketiga, ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia. Pernyataan dari alumnus Tecnische Hogeschool Bandung (sekarang ITB) ini memberikan penegasan bahwa Indonesia memiliki distingsi posisi dengan negara-negara yang memiliki sifat kontinental dan coastal.

Sebelumnya, Indonesia yang dulunya Hindia Belanda hanya berpedoman pada Teritoriale Zeeen Maritieme Kringen-Ordonantie (TZMKO) atau ordonansi hukum teritorial laut. Hukum ini menentukan bahwa perairan Nusantara hanya sejauh 3 mil laut dari garis pantai. Penentuan ini pun diukur berdasarkan jarak tembakan maksimal yang dapat dilakukan dengan meriam benteng pantai (shore batteries) dan kapal perang. Artinya, dengan adanya 3 mil laut garis pantai untaian pulau yang dimiliki Indonesia sampai dengan lebih dari 17.000 hanyalah merupakan Zamrud Khatulistiwa. Paradigma yang terbentuk adalah laut sebagai pemisah alih-alih sebagai penghubung.

Aturan TZMKO sangat merugikan Indonesia, di kala innocent passage tidak dipantau oleh pemerintah Hindia Belanda sehingga membebaskan tiap kapal asing untuk bebas melewati perairan di tengah-tengah kepulauan Nusantara. Untuk itu, Deklarasi Juanda memberikan satu tonggak besar sejarah Indonesia dalam dua poin besar. Pertama, ia mengariskan khazanah geopolitik Indonesia sebagai negara bahari dari sebuah corak strategic culture sebagai negara yang superior dalam perjuangan-perjuangan yang bersifat land-centric dalam pembentukan negara-bangsa. Lebih lanjut, ia menggariskan konsepsi yang secara psikologis merupakan kesatuan variabel tidak terpisahkan dalam ekologi: tanah dan air. Kedua, Deklarasi Juanda memberikan ruang terbuka untuk para pemikir dan diplomat Indonesia untuk memperjuangkan wilayah yang semestinya dapat dikuasai secara efektif oleh pemerintah sebagai wilayah berdaulat (sovereignty).

Deklarasi Juanda kemudian mengakui secara sepihak bahwa perairan teritorial Indonesia yang sebelumnya 3 mil laut menjadi 12 mil laut. Sebagai konsekuensinya, perairan yang ada di tengah-tengah Indonesia menjadi terapit secara rapat dan dengan demikian Indonesia dapat menguasai secara efektif segala sumber daya alam yang dimiliki di dalamnya dan bebas melayarkan kapal. Seiring dengan Deklarasi Juanda, Indonesia juga memiliki komitmen yang kuat untuk mempertangguh kapasitas Angkatan Lautnya dengan melancarkan perlawanan ke Belanda untuk merebut Irian Barat maupun berkonfrontasi dengan Malaysia.

Pasca Deklarasi Juanda, muncul negosiator ulung sekaliber Mochtar Kusumaaatmaja dan Hasjim Djalal yang semulanya merupakan diplomat muda Departemen Luar Negeri. Keduanya konsisten memperjuangkan posisi Indonesia di mata rancangan hukum laut internasional. Sejak UNCLOS I pada 1958, UNCLOS II pada 1960, dan UNCLOS III pada 1973, Indonesia di sela pertemuan-pertemuan tersebut aktif melobi negara-negara yang sekiranya memiliki posisi yang sama dengan Indonesia sebagai negara dengan karakteristik geografisnya berupa kepulauan. Perjuangan tidak sia-sia, karena tercapai naskah final dari Hukum Laut Internasional yang diratifikasi hampir seluruh belahan dunia dan memberikan baik kognisi politis maupun batas fisik wilayah. Legasi perjuangan diplomasi ini pun masih diteruskan dengan posisi Indonesia diperhitungkan melalui perwakilan-perwakilan yang ditempatkan dalam International Maritime Organization (IMO) yang bermarkas di Inggris.

Perjuangan pun tidak mudah, karena di dalam UNCLOS I di Jenewa, Swiss pada Februari gagasan Indonesia diprotes keras oleh Amerika Serikat (AS) yang menjadi sponsor PRRI/PERMESTA pada tahun yang sama ketika Deklarasi Juanda dikumandangkan. Simpati pun berdatangan dari Gerakan Non Blok (GNB) untuk menempuh upaya Indonesia sekaligus mengimbangi negeri Paman Sam. Pada UNCLOS II di April 1960, AS dan beberapa negara maju seperti Inggris menolak batas laut 12 mil. Delegasi Indonesia tetap kukuh mempertahankan argumennya.

Tidak cukup fokus pada meja perundingan, di waktu yang bersamaan secara domestik Indonesia juga membentuk landasan hukumnya secara fundamental pasca UNCLOS II. Beberapa di antaranya dengan menerbitkan UU/Prp No. 4 Tahun 1960 dan diperkuat kembali dengan PP No. 8 Tahun 1962 pada 25 Juli 1962 yang meregulasi lalu lintas laut damai bagi kapal-kapal asing yang melintas di dalam perairan Indonesia, serta Keppres No. 103 Tahun 1963 yang menetapkan seluruh perairan Indonesia sebagai satu kesatuan laut yang ada di bawah pengawasan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Artinya, pengakuan hukum nasional diimplementasikan terlebih dahulu sebelum konsensus dunia internasional disepakati.

Kelanjutan dari Hari Nusantara yang ditetapkan peringatannya oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini hanya cukup menjadi kenangan indah di kala Indonesia kerap “memunggungi laut” sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada saat deklarasi kemenangannya di Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta pada 13 Juli 2014 lalu. Indonesia telah mendeklarasikan diri sebagai Poros Maritim Dunia, terlepas dari berbagai masalah yang melingkupi topik luas di bidang kemaritiman: sengketa Laut Tiongkok Selatan, Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing, dan deretan persoalan lainnya. Maka pertanyaan penting yang harus dijawab berikutnya: apakah Nusantara warisan negara arsipelago Sriwijaya dan Majapahit hanya sesempit dengan memaknainya sebagai nama bagi ibu kota baru Indonesia?