Oleh : Wahyu Eko Setiawan/Sam WES (Pegiat Komunitas Sinau Embongan)
“The most dangerous savages live in cities”
SEORANG dokter mata, yang juga dikenal sebagai profesor sastra Inggris di Universitas Notre Dame, bernama Austin O’Malley, pernah menuliskan pernyataan, “The most dangerous savages live in cities.” Kurang lebih, artinya menyatakan bahwa orang biadab yang paling berbahaya tinggal di perkotaan/ kota.
Bagaimana seorang Ophthalmologist seperti Austin O’Malley bisa menuliskan pernyataan tersebut dengan gamblang.
Austin O’Malley lahir pada tanggal 1 Oktober 1858 di Pittston, Pennsylvania, USA. Meninggal dunia pada tanggal 26 Februari 1932. Artinya, apa yang dinyatakan oleh Austin O’Malley sudah lebih dari 100 tahun yang lalu. Apakah masih relevan dengan kondisi saat ini? Benarkah bahwa orang biadab yang paling berbahaya tinggal di perkotaan/ kota?
Dalam pandangan umum, masyarakat perkotaan dipandang sebagai sebuah simbol dari kemajuan budaya, kemodernan dan tingginya peradaban manusia. Benarkah demikian? Jika kita mau mencermati dengan seksama, kita bisa menjumpai berbagai perilaku tidak beradab yang justru dilakukan oleh orang-orang yang tinggal di perkotaan. Perilaku tidak beradab ini bisa kita katakan sebagai kebiadaban.
Mungkin, karena terlalu seringnya perilaku biadab ini kita saksikan secara gamblang dan terang-terangnya, akhirnya justru menjadi permakluman umum. Kita biarkan saja. Kita anggap biasa, dan kita tidak peduli. Selama perilaku biadab itu tidak menimpa diri kita. Persetan dengan kebiadaban yang dilakukan oleh orang lain, yang penting tidak menimpa diri sendiri. Mungkin seperti itu kira-kira yang menjadi pola pikirnya.
Apa itu perilaku biadab? Secara sederhana, biadab adalah tindakan yang tidak beradab. Misal, tidak tahu sopan santun, tidak tahu tata krama, merampas hak orang lain, menindas hidup orang lain, merusak lingkungan, melanggar hukum/ peraturan publik, korupsi, menyalah gunakan jabatan, dan lain-lainnya.
Betapa seringnya di perkotaan kita melihat anak-anak yang berani melawan orang tua dan gurunya. Karena terlalu seringnya, kita menanggapi hal tersebut dengan santai. Bukan sesuatu yang penting. Atau ketika masuk ke jalan-jalan perkampungan, yang jalannya relatif tidak terlalu lebar, kita bisa menjumpai mobil terparkir di jalan kampung. Sehingga bisa menghambat jalan bagi pengguna jalan lainnya. Atau ketika kita melihat orang yang punya hajat menutup jalan, padahal masih ada balai RW atau Balai Kelurahan yang bisa digunakan. Tapi kita menganggap hal tersebut biasa saja. Kita memakluminya. Padahal, hak umum orang lain telah dirampas demi kepentingan pribadi.
Ketika di jalan raya, kita sering menjumpai orang-orang yang saling serobot jalur jalan, bahkan dengan kecepatan yang mengagetkan, atau disertai dengan suara bising knalpot motor yang diluar batas, kita membiarkan saja. Atau kita sering melihat orang-orang yang melanggar rambu-rambu lalu lintas, melawan arus jalur jalan, dan perilaku semborono lainnya di jalanan. Kita memilih untuk membiarkannya saja, selama tidak mengganggu atau menyerempet diri kita. Kita membiarkan kebiadaban terjadi di depan mata. Anehnya, kita biarkan berulang-ulang kali. Akhirnya, kebiadaban itu semakin merajalela di mana-mana. Kita biarkan saja semua kebiadaban itu terjadi, meskipun tampak jelas di depan mata kita, selama kebiadaban itu tidak mengganggu atau mengenai diri kita. Biarkan orang lain merasakan semua kebiadaban itu. Masa bodoh! Benarkah demikian yang kita lakukan?
Kita sering menyaksikan orang-orang dengan seenaknya sendiri buang sampah sembarangan, merokok di tempat umum yang banyak anak kecilnya, merusak/ mencemari lingkungan hidup, menggangu ketertiban umum, menyabotase keamanan orang lain, dan berbagai perilaku biadab lainnya, tetapi kita lebih memilih untuk berdiam diri. Membiarkan semua perilaku biadab itu terjadi di depan mata. Entah mungkin karena kita sudah tidak peduli, atau karena sebab lainnya, yang jelas kita sudah turut andil dalam membiarkan berbagai perilaku biadab terjadi. Bukankah kita menjadi semakin hipokrit? Atau jangan-jangan diri kita juga sudah sering melakukan perilaku biadab yang sama saja dengan lainnya?
Maka, jangan heran ketika kebiadaban yang terjadi di Tragedi Stadion Kanjuruhan Malang pada tanggal 1 Oktober 2022 lalu, banyak orang yang memilih untuk berdiam diri saja. Meskipun sudah jelas-jelas merenggut 135 nyawa manusia. Selama yang direnggut bukan nyawa anak, istri, ibu, suami atau saudara sendiri, maka biarkan saja hal itu terjadi. Benarkah demikian?
Dengan membiarkan kebiadaban terjadi, bukankah kita juga menjadi semakin biadab? Orang-orang yang sering melakukan kebiadaban, bisa dipastikan akan semakin kehilangan rasa kemanusiannya. Bukankah jika kita semakin membiarkan perilaku biadab terjadi merajalela di mana-mana, kita juga semakin kehilangan rasa kemanusiaan di dalam diri kita? Jika demikian, masih layakkah kita disebut sebagai manusia? Biadab!