Penulis: Dr. Ivida Dewi Amrih Suci, S.H., M.H., M.Kn.*
—————————————————–
PROF. DR. HADI SUBHAN, S.H., M.H., C.N. adalah Guru Besar Hukum Kepailitan di Universitas Airlangga (Unair) yang kekonsistenan keilmuan pada Hukum Kepailitan di Indonesia sangat luar biasa. Beliau adalah ko-promotor penulis yang membingkai konsep berpikir penulis, untuk tetap konsisten dalam menganalisa hukum kepailitan dengan kacamata hukum kepailitan.
Suatu kebahagiaan dan mendapat penghormatan yang sangat tinggi ketika di undang dalam Pidato Ilmiah Pengukuhan Guru Besar di Fakultas Hukum Unair.
Selanjutnya penulis dalam artikel ini mempelajari lebih dalam lagi tentang ajarannya, serta bermaksud membagikan kepada para pembaca. Semoga niat baik penulisan ini bermanfaat untuk saat ini dan kedepannya.
PESAN beliau pada penulis sebagai ko-promotor ketika penulis mengerjakan Disertasi S3 di Universitas Jember tentang mempelajari menggunakan kacamata hukum kepailitan, terdiri dari 2 (dua) kata; dimana “Kacamata” berarti: 3. Pandangan seseorang terhadap suatu hal yang ditinjau dari sudut (segi) tertentu; sudut pandang (KBBI: 374) dan “Kepailitan” menurut Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) Pasal 1 angka 1 adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kreditor di bawah pengawasan hakim pengawasan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini (UU Kepailitan). Sehingga arti kacamata hukum kepailitan adalah sudut pandang dari hukum tentang sita umum atas harta kekayaan debitor pailit yang mempunyai karakteristik bahwa pengurusannya dilakukan oleh kurator dan diawasi oleh Hakim Pengawas.
Ada 3 (tiga) karakter spesifik dalam pengaturan UU Kepailitan Pasal 1 angka 1, yaitu tentang prinsip sita umum, harta kekayaan debitor pailit serta cara pengurusannya dan/atau pemberesannya dilakukan oleh kurator diawasi Hakim Pengawas. Jika bukan tentang 3 (tiga) hal yang spesifik tersebut maka bukan tentang kepailitan.
Pidato ilmiah yang disampaikan oleh Prof. Dr. Hadi Subhan, S.H., M.H., C.N., yang dapat penulis pelajari yang paling penting adalah tentang kepailitan sebagai instrument hukum untuk recovery pembayaran utang debitor pailit. Hal ini dikarenakan hukum kepailitan mempunyai sistem hukum yang berbeda dari bidang hukum lainnya yaitu terdapatnya prinsip umum di dalamnya. Prinsip sita umum, prinsip penyelesaian utang, prinsip perdamaian, prinsip pemulihan ekonomi, prinsip penagihan dikoordinir pada satu pintu atau dapat dikatakan sebagai prinsip debt pooling, prinsip pengembalian utang berstruktur (prinsip structured credtiors), prinsip jaminan bersama atas harta kekayaan debitor (prinsip paripasu prorata parte), prinsip kesetaraan kreditor sehingga kreditor mempunyai hak yang sama atas harta kekayaan kreditor (prinsip paritas creditorium) adalah prinsip utama yang mendasari penyelesaian utang dalam hukum kepailitan serta banyak prinsip-prinsip yang lain yang mendukung penyelesaian utang dalam hukum kepailitan.
DALAM pidato ilmiahnya Prof. Dr. Hadi Subhan, S.H., M.H., C.N., memaknai kepailitan sebagai instrumen hukum recovery pembayaran utang debitor. Instrumen berarti alat untuk mengerjakan sesuatu (KBBI, 334), sehingga sebagai instrumen hukum adalah sebagai alat untuk melaksanakan tindakan hukum (peraturan perundang-undangan) dan recovery berarti pemulihan. Dengan demikian hukum kepailitan sebagai instrumen hukum dalam recovery pembayaran utang debitor adalah hukum kepailitan itu sebagai alat untuk melaksanakan tindakan dalam suatu perundang-undangan untuk suatu pemulihan terhadap pembayaran utang debitor. Alat ini bekerja dengan berbagai sistem kerja, dimana cara kerjanya mempunyai karakteristik atau karakter yang berbeda dengan bidang hukum yang lainnya atau mempunyai sistem atau cara kerja yang sangat khusus.
Cara kerja khusus yang dimaksudkan adalah mempunyai pengadilan khusus yaitu Pengadilan Niaga, dimana Pengadilan Niaga yang memiliki kompetensi absolut. Pada halaman 7 dalam Pidato llmiahnya dijelaskan bahwa sedikitnya mereduksi (memotong atau mengurangi (KBBI: 735)) kompetensi atau kewenangan dari 7 (tujuh) pengadilan yang ada, yaitu Pengadilan Negeri (perdata umum), Pengadilan Negeri (pidana), pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) dalam arbitrase. Hal ini dikarenakan kepailitan merupakan prosedur penagihan yang tidak lazim atau tidak normal (oncigenlijke incasso procedures). Instrumen hukum yang tidak lazim atau yang tidak normal ini mengesampingkan hukum-hukum yang normal. Hal ini dikarenakan hukum yang tidak normal ini untuk memenuhi prinsip recovery (pemulihan) pembayaran utang debitor, prinsip pemulihan perekonomian, prinsip penyelesaian utang dalam prinsip perdamaian yang terkait pula dengan moratorium dalam ranah PKPU dalam kepailitan. Dimana selama prinsip ini adalah bertujuan untuk keadilan justiabelen dalam hukum kepailitan.
Sistem kerja hukum kepailitan kedua adalah hukum kepailitan di Indonesia tidak mengenal tentang solvabilitas (insolvensi test) atau tidak terlebih dahulu melakukan uji kemampuan debitor dalam rangka pembayaran utang-utangnya. Syarat permohonan kepailitan berdasarkan pada UU Kepailitan Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan:
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”
Persyaratan permohonan yang sangat sederhana ini dan dengan peradilan cepat debitor dapat dinyatakan pailit. Walaupun dengan persyaratan yang sederhana berdasarkan UU Kepailitan Pasal 2 ayat (1), Hakim tetap dapat menolak permohonan pailit terhadap debitor yang sangat solven, dimana dalam pertimbangannya harus dengan pertimbangan hukum hakim (ratio decidendi) yang cukup memadai, hal ini diatur dalam UU Kepailitan Pasal 8 ayat (6) huruf a. Hakim dalam memeriksa perkara kepailitan diberikan hak untuk debitor yang sangat solven, dengan mempertimbangkan hukum tidak tertulis yaitu kepatutan, keadilan dan kewajaran atas permohonan pailit atau PKPU.
Sistem kerja hukum kepailitan yang ketiga adalah utang dalam arti luas tapi tidak tak terbatas. Sebagai murid, penulis mencoba menganalisa pernyataan ini, karena tidak semua justiabelen dalam hukum kepailitan mampu memaknai pernyataan ini. Pernyataan yang dapat penulis tangkap dalam konsep berpikir yang utama adalah bahwa batasan utang dalam hukum kepailitan adalah yang dapat dinyatakan dalam bentuk uang baik dalam mata uang Indonesia maupun dalam mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontingen. Demikian pula yang timbul karena perjanjian atau karena Undang-undang dan wajib dipenuhi oleh debitor, jika tidak dapat dipenuhi kreditor punya jaminan pemenuhan dari harta kekayaan debitor. Hal ini terlihat nyata dalam dalam penagihan-penagihan kreditor dalam prinsip structured creditors yaitu terdapatnya kreditor preferen, kreditor separatis dan kreditor konkuren.
Di dalam tingkatan-tingkatan kerditor dalam hukum pengaturannya dapat terlihat nyata dalam UU Kepailitan Pasal 115 ayat (1) yang menyatakan:
“Semua Kreditor wajib menyerahkan piutangnya masing-masing kepada Kurator disertai perhitungan atau keterangan tertulis lainnya yang menunjukkan sifat dan jumlah piutang, disertai dengan surat bukti atau salinannya, dan suatu pernyataan ada atau tidaknya Kreditor mempunyai suatu hak istimewa, hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau hak untuk menahan benda”
Dalam Pasal ini terlihat nyata bahwa yang diajukan kepada kurator berupa tagihan piutang dimana tagihan piutang tersebut harus dapat dinyatakan dengan uang serta mengatur pula tentang tagihan-tagihan kreditor yang mengajukan piutang dengan tingkatan-tingkatannya prinsip (structured creditors) .
MENURUT Prof. Dr. Hadi Subhan, S.H., M.H., C.N., kepailitan merupakan penjabaran lebih khusus dari KUHPerdata. Kepailitan mengatur tentang utang dalam kaitan dengan perikatan dan bisa timbul karena perjanjian dan bisa timbul karena undang-undang, bisa timbul dari undang-undang saja dan bisa pula timbul dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang sesuai dengan undang-undang, bisa pula perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad). Meskipun batasan utang dalam kepailitan mencakup batasan yang luas, namun bukan berarti tanpa batas.
Batas yang ditentukan oleh UU Kepailitan adalah bahwa kewajiban yang harus dijalankan debitor harus dinyatakan dengan uang, bukan utang yang dijadikan dasar tetapi uang yang dapat dinyatakan. Prestasi yang berupa niet doen (tidak melakukan sesuatu) seringkali tidak dapat dinyatakan dengan uang dan sesuai pula dasar peruntukan kontrak, tetapi hal ini tidak dijadikan dasar permohonan pailit atau PKPU. Sehingga dalam hukum kepailitan mencakup utang dalam arti luas bukan berarti tidak tak terbatas karena batasannya “dapat dinyatakan dengan uang”.
Sistem kerja hukum kepailitan ketiga menutur Prof. Dr. Hadi Subhan, S.H., M.H., C.N., dikategorikan bahwa kurator yang tugasnya mengurus dan/atau membereskan harta pailit adalah kurator partikelir yang progresif. Selain Balai Harta Peninggalan (BHP) terdapat kurator perseorangan yaitu kurator yang berbayar karena kurator ini adalah kurator swasta (UU Kepailitan Pasal 69), dimana Prof. Dr. Hadi Subhan, S.H., M.H., C.N., menyatakan sebagai kurator partikelir. Keberadaan kurator partikelir (swasta) ini sangat efektif untuk meningkatkan jumlah permohonan pailit serta mempercepat penyelesaian pengurusan dan pemberesan harta pailit, karena selain prinsip penagihan dapat dinyatakan dengan uang, sistem kerja yang dilakukan oleh kurator mempunyai 3 (tiga) tahap, yaitu inventarisasi, verifikasi dan pemberesan harta pailit.
Ketiga tahap ini membutuhkan daya kerja ekstra kurator. Jika UU Kepailitan tidak memberi kesempatan kurator partikelir untuk mengurus dan/atau membereskan harta pailit maka kurator negara (BHP) akan sangat kesulitan dan tidak akan cepat daya kerjanya. Hal ini dikarenakan tugas BHP sangat banyak di bidang-bidang lainya selain sebagai kurator. Demikian pula dalam kurator partikelir memiliki kompetensi yang memadai untuk menjalankan tugasnya, karena kurator partikelir harus berlatar belakang advokat dan akuntan publik, serta harus menempuh pendidikan kurator kepailitan terlebih dahulu untuk diangkat sebagai kurator.
Sistem kerja hukum kepailitan keempat yang menonjol adalah pembuktian sederhana, karena pranata hukum kepailitan dilakukan dengan proses cepat dalam pelaksanaannya. Hal ini dilakukan agar dapat segera memulihkan perekonomian debitur dan kreditor. Terdapat teori yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Hadi Subhan, S.H., M.H., C.N., dalam syarat permohonan pailit yaitu syarat 2 (dua) dan 1 (satu) (2+1). Dimana UU Kepailitan menentukan bahwa syarat materiil permohonan pailit harus diipenuhi 2 (dua) syarat kumulatif yaitu syarat pertama, debitor mempunyai satu utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih dan syarat kedua, debitor memiliki paling sedikit 2 (dua) kreditur, serta salah satunya dari syarat materiil harus dapat dibuktikan dengan sederhana. Syarat permohonan pailit ini, expressis verbis yang berarti banyak kata dinyatakan secara tegas, yaitu dalam UU Kepailitan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (4).
Sistem kerja hukum kepailitan yang kelima oleh Prof. Dr. Hadi Subhan, S.H., M.H., C.N., diibaratkan bahwa “PKPU = impian yang dirindukan dan yang tak dirindukan”. Dalam ulasannya dinyatakan bahwa PKPU adalah merupakan instrumen hukum penyeimbang dari pailit dan PKPU dijadikan sebagai alat (instrument) untuk menangkis oleh debitor atas permohonan pailit dan PKPU juga diajukan karena debitor sendiri memperkirakan utang-utangnya yang akan jatuh tempo tidak dapat dibayarnya. Kreditor juga dapat menghindarkan debitornya agar terhindar dari pailit.
Demikian juga hukum kepailitan di Indonesia dalam perkembangannya meneguhkan berbagai instrumen hukum yang berkembang dalam fungsinya, hal ini terkait dengan recovery (pemulihan) pembayaran kewajiban prestasi debitor terhadap para kreditor. Perkembangan terbaru fungsi hukum kepailitan adalah fungsi insolvensi, fungsi recovery, fungsi liquidasi dan fungsi eksekusi. Dimana dalam fungsi eksekusi terkandung prinsip putusan serta merta (uitvoobaar bij voorraad).
Jika diambil kesimpulan dari Pidato Ilmiah Prof. Dr. Hadi Subhan, S.H., M.H., C.N., mengajarkan kepada kita tentang karakteristik Hukum Kepailitan yang sangat berbeda dengan bidang hukum lain. Kepailitan sebagai instrumen hukum mempunyai kekhasannya yang tersendiri, baik kekhasan sifatnya, bentuknya, prinsip-prinsipnya dan kekhasan lainnya. Sebagai hukum yang lex spesialis dan merupakan spesies dari genusnya yaitu hukum perdata dan hukum acara perdata. Hukum kepailitan dalam tata cara pengaturan normanya juga sangat khas. Jika hukum perdata dan hukum acara perdata diatur terpisah dalam kitab yang berbeda. Hukum kepailitan mengatur hukum formil dan hukum materiil dalam satu kitab peraturan, bahkan dalam satu norma pun terkandung dua pengaturan hukum formil dan hukum materiil.
Terimakasih kami haturkan kepada Prof. Dr. Hadi Subhan, S.H., M.H., C.N., telah memberikan oleh-oleh yang sangat bermanfaat bagi kami untuk dipelajari yaitu keilmuan hukum kepailitan. Beliau memang layak disebut ahli hukum kepailtan satu-satunya yang sangat konsisten dalam keilmuannya.
==============================