Mendorong Penyelenggaraan dan Pengawasan Partisipatif pada Pemilu Serentak 2024

MonWnews.com, Surabaya – Pemilu Serentak 2024 yang akan digelar pada Rabu, 14 Februari 2024 diprediksi akan berjalan dengan sangat kompleks dan rawan. Pasalnya di tahun yang sama pada bulan November 2024, akan juga digelar Pemilihan Serentak 2024 yang dalam agendanya akan dilangsungkan Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur, Pemilihan Bupati-Wakil Bupati, dan Pemilihan Walikota-Wakil Walikota. Jika melihat Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilu Serentak 2024 yang akan memilih Presiden-Wakil Presiden, DPR-RI, DPD-RI, DPRD Provinsi, hingga DPRD Kabupaten/Kota ini, akan ada tahapan Pemilu yang beririsan dengan tahapan Pemilihan di tahun 2024.

Irisan tahapan tersebut tentunya akan menambah potensi kerawanan dalam Pemilu maupun Pemilihan bilamana para penyelenggara Pemilu baik KPU, Bawaslu hingga DKPP tidak dapat bersinergi dengan melaksanakan tugas masing-masing pada tahapan dengan baik. Selain sinergitas antar penyelenggara, irisan tahapan tersebut juga berpotensi untuk tidak berjalan dengan maksimal jika peran para pemangku kepentingan dalam hal ini adalah peserta pemilu, pegiat pemilu, akademisi, professional, masyarakat pemilih, NGO, hingga komunitas segmen pemilih tidak bahu membahu untuk berpartisipasi dalam setiap tahapan pemilu.

Penyelenggara Pemilu harus dapat membuka diri melalui program-program inklusif dan kolaboratif dalam melaksanakan setiap tahapan yang ada. Suka atau tidak, seluruh penyelenggara pemilu adalah lembaga-lembaga demokrasi yang harusnya tidak bersifat ekslusif pada setiap elemen pemilu. Eve Warbruton dan Edward Aspinall, dalam tulisannya “Explaining Indonesia’s Democratic Regression”, mewanti-wanti kondisi stagnasi demokrasi dapat saja mengarah pada situasi democratic in decline (penolakan demokrasi), demokcratic backsliding (kemunduran demokrasi), hingga democratic regression (penurunan demokrasi), jika para penyelenggara negara tidak segera berbenah (Warbruton and Aspinal, 2019:256,).

Kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa sebab misalnya saja Fragmentasi Masyarakat Sipil, Keterbatasan Akses Masyarakat, Ketimpangan Akses Masyarakat, hingga Lemahnya Posisi Tawar Masyarakat dalam keterlibatannya pada setiap kebijakan penyelenggara negara. Hal ini memunculkan keterputusan komunikasi, koordinasi, hingga kemacetan yang cenderung mengarah pada ketidakpercayaan publik terhadap sebuah produk yang berasal dari penyelenggara negara.

Mendorong Penyelenggara dan Pengawas

Untuk mencegah terjadinya kemunduran demokrasi, utamanya dalam proses pelaksanaan Pemilu Serentak 2024, para penyelenggara dan pengawas pemilu harus didorong untuk menginklusifkan program-programnya kepada masyarakat. Beberapa faktor yang harus dikejar para penyelenggara adalah keterlibatan publik dalam setiap tahapan pemilu, misalnya mendorong mereka untuk berpartisipasi menjadi penyelenggara pemilu di tingkat, kecamatan, kelurahan hingga TPS.

Bukan rahasia umum, jika masyarakat memerlukan jaminan atas terjadinya kecelakaan kerja pada Pemilu Serentak 2019. Banyak yang trauma terhadap proses penyelenggaraan yang dirasa kurang efektif dan memakan waktu Panjang sehingga mengakibatkan masyarakat enggan untuk berpartisipasi Kembali dalam gelaran Pemilu Serentak 2024. Adanya wacana agar pemerintah menaikkan honorarium para petugas Pemilu hingga tiga kali lipat, dinilai tidak cukup apabila hanya dengan kenaikan honorarium, maka trauma di masyarakat atas risiko menjadi petugas pemilu di tahun 2019 yang lalu bisa hilang. Harus ada jaminan terhadap efektifitas penyelenggaraan yang dapat dioptimalkan melalui sistem informasi kepemiluan.

Faktor lain adalah keterlibatan para peserta yang dibatasi kampanye dalam 75 hari. Hal ini harus disiasati dengan kerja-kerja produktif penyelenggaraan maupun pengawasan yang cerdas. Kampanye adalah salah satu hal yang paling dibutuhkan oleh masyarakat agar dapat mengenal siapa yang akan dipilih pada Pemilu Serentak 2024. Teknis penyelenggaraan Kampanye harus mampu memanfaatkan media seluas-luasnya untuk mencukupi kebutuhan informasi masyarakat. Begitu juga dengan pengawasan kampanye, dengan mepetnya jadwal kampanye serta komitmen Bawaslu untuk mengoptimalkan pencegahan pelanggaran maka dibutuhkan sebuah pengawasan inlusif berbasis partisipasi masyarakat. Hal tersebut tidaklah mudah mengingat masyarakat sendiri belum tentu berani untuk melaporkan pelanggaran pemilu kepada Gakkumdu yang telah dibentuk oleh Bawaslu karena ketakutan atau ancaman yang muncul. Disini, Bawaslu harus didorong untuk melakukan inovasi, misalkan saja melibatkan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) untuk dapat melindungi serta menjaga para pelapor, saksi, hingga korban agar mereka dengan nyaman dapat berpartipasi dalam pengawasan.

Inklusivitas Masyarakat

Perlu ada komitmen bersama bagi seluruh penyelenggara pemilu yang terdiri dari KPU, Bawaslu hingga DKPP untuk menjaga inklusifitas masyarakat. Tidak hanya pada alasan penurunan dan stagnasi demokrasi hadir sebagai ancaman terhadap kualitas penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024. Inklusifitas masyarakat sangat dibutuhkan untuk mengurangi kerawanan irisan tahapan yang dapat menjadi ancaman bagi penyelenggaraan pemilu.

Disamping itu, untuk menghadirkan inklusivitas masyakat dalam pemilu, para penyelenggara harus bersikap professional, hingga memiliki integritas yang tinggi. Sehingga kepercayaan publik akan meningkat seiring dengan hasil pemilu yang demokratis, serta polarisasi pasca pemilu dapat diantisipasi. Hal lain yang harus dilakukan adalah penguatan masyarakat sipil melalui program pendidikan politik kepada masyarakat. Ketika pendidikan politik telah menjadi arus utama para penyelenggara, aspek pencegahan terhadap pelanggaran hingga sengketa dapat dilaksanakan dengan baik dan Indeks Demokrasi di Indonesia dapat Kembali menjadi naik dan tidak mengalami regresi kembali.

Oleh : Rusmi farizal Rustam, SH (Anggota Bawaslu Jawa Timur)