Komitmen Hapus Kekerasan Seksual, Institut Sarinah Desak Pemerintah Terapkan Konvensi ILO 190

MonWnews.com, Jakarta – Institut Sarinah mendesak Pemerintah untuk segera meratifikasi konvensi <span;>International Labour Organization (ILO) nomor 190. Upaya itu dilakukan untik menjamin pemenuhan hak-hak setiap pekerja terkait tempat kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan berbasis gender.

Desakan itu diutarakan dalam launching hasil penelitian Komnas Perempuan “Urgensi Ratifikasi KILO 190 dan Rekomendasi 206 Tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja” yang diselenggarakan pada Selasa (22/11) secara hibrid. Diketahui, ILO menghimbau agar semua negara mengadopsi Konvensi Nomor 190 sejak tahun 2019 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja.

Reny Shafira dari Divisi Advokasi RUU PPRT Institut Sarinah menyatakan pentingnya hasil konvensi ini. Menurutnya konvensi ini komprehensif karena mengintegrasikan prinsip-prinsip dari beberapa Konvensi HAM sekaligus.

“Yaitu Deklarasi HAM, Sipol, Ecosoc, Anti Diskriminasi Ras dan Perempuan maupun terhadap kelompok disabilitas,” ujarnya.

Komisioner sekaligus Ketua Tim Perempuan Pekerja Tiasri Wiandani, menyatakan salah satu isu prioritas Komnas Perempuan pada periode ini adalah mengenai perempuan pekerja dan kekerasan yang mereka alami. “Dari Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan atau CATAHU Komnas Perempuan, ada 108 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan pekerja yang dilaporkan ke Komnas Perempuan dengan beragam bentuk,” jelas Tiasri Wiandani.

Hadir di acara tersebut para penanggap dari  dari DPR (Luluk Hamidah dari PKB), Kemenakertrans (Yuli dari Biro Hukum), Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan (Ajeng). Sebagai peserta diskusi Komnasper menghadirkan jaringan partner mereka seperti Serikat Buruh Perempuan Bekasi, lembaga donor, maupun perwakilan ILO Jakarta termasuk Institut Sarinah.

Insitut Sarinah sepakat dengan Komnasper bahwa beberapa UU untuk kesetaraan gender misalnya UU TPKS dan kelak RUU PPRT akan lebih efektif jika Pemerintah meratifikasi Konvensi ILO terutama no 189 dan 190. “Untuk mencapai kesetaraan gender diperlukan kebijakan nasional yang jelas dan terukur dan itu dimulai dengan meratifikasi konvensi ILO,” tegas Reny Shafira.

Ketua Institut Sarinah sekaligus Koordinator Koalisi Sipil untuk RUU PPRT mengingatkan bahwa perjuangan untuk UU PPRT tidak harus menunggu ratifikasi konvensi ILO. Yang paling utama adalah pembentukan Gugus Yugas.

“Problem utama di proses legislasi RUU PPRT justru di pimpinan DPR yang menolak mengagendakan RUU PPRT ke Rapat Paripurna meskipun sudah lolos di Badan Musyawarah. Pemerintah sudah membentuk Gugus Tugas dan pada posisi menunggu komitmen politik pimpinan DPR,” jelas Eva Sundari.