Monwnews.com, Jakarta – Menuju Indonesia EMAS 2045…, Indonesia kembali memasuki musim refleksi sejarah dalam peringatan Hari Kesaktian Pancasila (1 Oktober). Peringatan ini berlandaskan Keppres No. 153/1967 yang menegaskan tanggal 1 Oktober sebagai momen peneguhan komitmen kebangsaan pasca peristiwa 1965. Pemerintah memaknainya sebagai pengingat bahwa Pancasila tetap tegak menghadapi rongrongan ideologi lain dan upacara kenegaraan dilangsungkan secara rutin mengacu pada ketentuan tersebut.
Di tengah ritus kenegaraan perdebatan publik kian tajam. Apakah penyebutan kesaktian merefleksikan sejarah yang objektif atau justru memitoskan dasar negara sehingga menutup ruang kajian kritis atas tragedi 1965-1966? Di sisi lain, penetapan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila melalui Keppres No. 24/2016 menempatkan kelahiran gagasan Pancasila pada pijakan hukum yang jelas. Membedakan momen kelahiran ideologi (1 Juni) dari momen peringatan pascaperistiwa 1965 (1 Oktober).
Latar Singkat Peristiwa 1965
Rangkaian aksi yang berpuncak pada dini hari 1 Oktober 1965 melahirkan beragam istilah yakni G30S, G30S/PKI, Gestapu dan Gestok. Di ruang publik pilihan istilah terbukti turut membentuk ingatan kolektif dan arah penafsiran politik atas sejarah.
Empat Tafsir dalam Satu Tragedi
- Gestok (Gerakan Satu Oktober) yaitu istilah yang didorong Presiden Sukarno untuk menegaskan kronologi 1 Oktober dan menggeser konotasi Gestapu; sering muncul dalam pidato-pidatonya pada 1966–1967.
- G30S/PKI adalah format resmi Orde Baru yakni Presiden Soeharto. Secara eksplisit menetapkan PKI sebagai dalang; narasi ini menguat di buku teks, film dan upacara negara pada masa itu.
- G30S (Gerakan 30 September) yakni sebutan operasional yang relatif deskriptif/netral untuk mengacu pada peristiwa 1965. Dalam praktik pasca-Reformasi, bentuk ini sering dipakai tanpa penambahan aktor.
- Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) merupakan istilah yang dipopulerkan kalangan militer; diciptakan Brigjen R.H. Sugandhi dan sengaja beraksen bunyi mirip Gestapo untuk memberi kesan jahat.
Pandangan Negara-Pemerintah menempatkan 1 Oktober sebagai pernyataan keteguhan Pancasila dan penghormatan kepada korban/pahlawan revolusi. Upacara kenegaraan secara eksplisit merujuk Keppres 153/1967 sebagai dasar hukum.
Pada narasi akademisi dan kelompok masyarakat sipil melihat perspektif bahasa kesaktian karena bernuansa magis dan berpotensi memutlakkan ideologi. Human Rights Watch mendokumentasikan bagaimana ritual Kesaktian Pancasila pada masa Orde Baru dipakai tuk mengingatkan bahaya laten PKI, sejalan dengan praktik indoktrinasi P4 di kampus dan birokrasi.
Dalam konteks objektivitas dan mitologisasi, sejumlah sejarawan memandang bahwa menempelkan klaim final soal dalang tunggal ke dalam istilah resmi berisiko membekukan narasi. Karya John Roosa menekankan kompleksitas jaringan aktor dan proses, sementara Geoffrey B. Robinson serta Jess Melvin menggarisbawahi peran institusi militer dan skala kekerasan pasca-1965 menawarkan horizon analisis yang melampaui dikotomi hitam-putih.
Dobrakan kontestasi istilah dapat dikatakan sebagai kontestasi memori.
Perbedaan tafsir label (G30S, G30S/PKI, Gestapu, Gestok) mencerminkan pertarungan penamaan yang berdampak pada kurikulum, media dan ritus kenegaraan. Secara metodologis peneliti menganjurkan membedakan fakta peristiwa (data, arsip, kesaksian) dari tafsir politik (penamaan, penggandengan aktor).
Penetapan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila lewat Keppres No. 24/2016 memang memberi kepastian normatif, namun pijakan hukum ini masih minimal. Sebagai ideologi NKRI, kelahiran Pancasila idealnya ditopang landasan hukum yang lebih kuat, setingkat undang-undang bahkan konstitusi. Terlebih Keppres ini baru hadir tujuh dekade setelah 1945. Terlebih Keppres ini baru hadir tujuh dekade setelah 1945. Kemana saja para presiden dan wakil presiden terdahulu dari Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur, Mega, hingga SBY?
Begitu pula para pimpinan lembaga legislatif dari Akbar, Amien, Hidayat, Marzuki, Taufiq, hingga pada akhirnya Ade dan Zulkifli menjelang 2016, mengapa tak satupun mendorong pijakan hukum yang lebih kokoh?
Kemudian daripada itu pemisahan makna 1 Juni dengan 1 Oktober juga penting. Bila 1 Juni menegaskan kelahiran ideologi Pancasila, maka 1 Oktober yang sejak Keppres No. 153/1967 dijadikan Hari Kesaktian Pancasila perlu dikaji ulang. Sebab penetapan tersebut lahir dari trauma politik 1965. Oleh sebab itu apakah pantas penetapan tersebut disebut bukan sebagai Hari Kesaktian Pancasila, melainkan justru Hari Kesakitan Pancasila? Pertanyaan ini mencerminkan kritik publik atas monopoli tafsir sejarah oleh rezim Orde Baru yang berpotensi mereduksi Pancasila dari ideologi konstitusional menjadi sekadar alat politik negara atau simbol politik yang manipulatif.
Kajian ulang penting agar Pancasila ditempatkan sebagai ideologi hidup. Pancasila adalah philosophische grondslag, fundamental norm, dasar negara, ideologi pemersatu, sekaligus spiritualitas bangsa. Pancasila berfungsi sebagai meja statis yang kokoh menjadi landasan tetap bagi keberlangsungan NKRI serta leitstar dinamis yang menuntun arah perubahan sesuai tuntutan zaman dan oleh sebab itu, maka setiap peringatannya harus dimaknai sebagai refleksi kritis.
Ritual kenegaraan perlu menghormati korban dan menjaga persatuan tetapi bahasa yang memitoskan bisa menyulitkan pendidikan sejarah yang inquiry-based. Istilah netral dan pembacaan multi-sumber membantu publik membedakan fakta dari tafsir. Arti lebih mudahnya yakni perlunya pelurusan istilah dan kurikulum sejarah.
Nilai persatuan dan keadilan sosial, pasal 33 ayat 3 UUD 1945 harus harus dan wajib ditegakkan tanpa menutup pluralitas tafsir akademik atas peristiwa 1965. Oleh sebab itu kami menyebut 1 Juni (Hari Lahir Pancasila) sebagai pijakan normatif kelahiran ideologi dan wajib wajib dan harus dinaikkan ke level TAP MPR atau UU. Sementara untuk 1 Oktober kami memilih istilah yang tidak memitoskan, sembari tetap menghormati para korban. Pertanyaan apakah Hari Kesaktian Pancasila betul-betul objektif? hendaknya dijawab melalui kurikulum terbuka, arsip yang dapat diakses dan riset lintas perspektif agar nasionalisme rasional tumbuh dari kejujuran sejarah dan tidak dikunci oleh elit kelompok tertentu, tidak dengan Rothschild, tidak dengan Rockefeller dan tidak dengan kaum kapitalis lainnya! Mari menjawab revolusi mental sesungguhnya.. Semoga semesta alam mendukung dan leluhur menjaga keluhuran bangsa kita sekarang dan selamanya. Rahayu Rahayu.. (red).












