Oleh: Muhammad Rizal Haqiqi, S.IKom
(Founder Niskala Strategist)
Monwnews.com, Surabaya – Bob Marley pernah mengingatkan dunia dengan kalimat yang tajam dan tak lekang oleh waktu “You never know justice until the criminals make the laws.” atau “anda tidak pernah menemukan keadilan di dunia dimana penjahat yang membuat aturan”.
Kutipan ini sering dibaca dan dimaknai sebagai kritik terhadap hukum yang lahir dari tangan-tangan kuasa yang tak sepenuhnya bersih. Namun, dalam konteks negara modern, persoalan keadilan tidak berhenti pada siapa yang membuat aturan, melainkan juga bagaimana aturan itu dikomunikasikan kepada publik.
Di sinilah komunikasi kebijakan publik menjadi medan yang menentukan. Sebab, kebijakan yang secara prosedural sah dapat kehilangan legitimasi sosial bila disampaikan secara tertutup, manipulatif, atau elitis. Sebaliknya, kebijakan yang berat dan tidak populer pun masih mungkin diterima bila dikomunikasikan secara jujur, dialogis, dan menghormati nalar publik.
Komunikasi kebijakan kerap dipahami secara sempit sebagai aktivitas sosialisasi baik melaui rilis pers, konferensi media, atau unggahan media sosial resmi. Padahal, komunikasi kebijakan sejatinya adalah arena perebutan makna. Di ruang inilah negara berusaha menjelaskan keputusannya, sementara publik menilai apakah keputusan itu adil, masuk akal, dan berpihak pada kepentingan bersama.
Masalahnya, dalam praktik di Indonesia, komunikasi kebijakan masih sering jatuh pada pola satu arah. Bahasa yang digunakan penuh istilah teknokratis, jargon birokrasi, dan logika administratif yang jauh dari pengalaman hidup warga. Dampak kebijakan juga kerap disamarkan, sementara kritik dipersepsikan sebagai gangguan stabilitas, bukan sebagai bagian sah dari demokrasi.
Ketika komunikasi diposisikan hanya sebagai alat legitimasi kekuasaan bukan sebagai ruang dialog maka kutipan Bob Marley menemukan relevansinya. Bukan karena semua pembuat kebijakan adalah “penjahat”, melainkan karena ketika narasi dikendalikan sepenuhnya oleh elite, rasa keadilan publik tergerus.
Banyak polemik kebijakan di Indonesia bukan semata lahir dari substansi aturan, melainkan dari cara negara berbicara. Kebijakan diumumkan secara mendadak, klarifikasi datang setelah isu viral, dan respons pejabat sering defensif. Dalam situasi seperti ini, publik tidak merasa diajak berpikir bersama, melainkan diminta patuh tanpa penjelasan yang memadai.
Krisis kepercayaan publik tidak muncul dalam semalam. Ia tumbuh dari akumulasi pengalaman dari merasa tidak didengar, dianggap tidak paham, dan dicurigai setiap kali mengajukan pertanyaan kritis. Komunikasi kebijakan yang buruk mempercepat krisis ini. Negara terlihat jauh, dingin, dan hanya hadir sebagai pengatur, bukan sebagai pelayan kepentingan umum.
Padahal, dalam demokrasi, kepercayaan adalah modal utama pemerintahan. Tanpa kepercayaan, hukum hanya menjadi teks, dan kebijakan berubah menjadi sumber konflik laten.
Keadilan dalam kebijakan publik tidak hanya diukur dari hasil akhir, tetapi juga dari proses komunikasi yang menyertainya. Apakah publik diberi akses informasi yang cukup? Apakah dampak kebijakan dijelaskan secara terbuka? Apakah ada ruang dialog sebelum keputusan final diambil?
Di banyak negara demokratis, komunikasi kebijakan diperlakukan sebagai bagian integral dari perumusan kebijakan itu sendiri. Pemerintah tidak hanya bertanya “apa yang harus diputuskan”, tetapi juga “bagaimana keputusan ini dipahami dan dirasakan oleh warga”. Perspektif ini masih lemah dalam praktik kebijakan kita.
Ketika negara gagal menjelaskan alasan, risiko, dan tujuan kebijakan secara jujur, publik akan mencari narasi alternatif. Di era media sosial, narasi ini bisa datang dari siapa saja dan sering kali lebih emosional daripada faktual. Dalam situasi tersebut, negara kehilangan kendali bukan karena kritik, tetapi karena kehilangan kepercayaan.
Menghadapi kompleksitas ini, solusi tidak terletak pada memperbanyak propaganda atau mengerahkan influencer. Justru yang dibutuhkan adalah komunikasi kebijakan yang bermartabat dengan cara komunikasi yang mengakui kecerdasan publik, membuka ruang perbedaan, dan berani menghadapi kritik.
Setidaknya ada tiga prinsip yang perlu ditegakkan. Pertama, transparansi sejak awal, termasuk menjelaskan dampak negatif kebijakan, bukan hanya manfaatnya. Kedua, bahasa publik, yakni bahasa yang membumi, kontekstual, dan menghargai pengalaman warga. Ketiga, dialog nyata, bukan sekadar formalitas partisipasi.
Pejabat publik, terutama pembuat kebijakan, harus tampil sebagai komunikator utama. Bukan untuk membela diri, tetapi untuk menjelaskan dengan jujur dan bertanggung jawab. Dalam konteks ini, komunikasi bukan alat untuk menutup masalah, melainkan sarana untuk mengelola perbedaan secara dewasa.
Jika pesan Bob Marley kita tarik ke konteks hari ini, maka maknanya menjadi lebih luas. Keadilan runtuh bukan hanya ketika “penjahat membuat hukum”, tetapi ketika hukum dan kebijakan dikomunikasikan tanpa etika, empati, dan keterbukaan. Di situlah negara berisiko kehilangan legitimasi moral, meski tetap memiliki kekuasaan legal.
Komunikasi kebijakan yang adil tidak menjamin semua orang setuju. Namun, ia memastikan bahwa perbedaan lahir dari pemahaman, bukan dari kecurigaan. Dalam demokrasi, itu adalah fondasi yang tak tergantikan.
Pada akhirnya, pertanyaan penting bagi negara bukan hanya “apakah kebijakan ini sah?”, tetapi “apakah cara kami menjelaskannya mencerminkan keadilan?”. Sebab, keadilan bukan hanya soal aturan yang dibuat, melainkan bagaimana negara memilih untuk berbicara kepada rakyatnya.












