MonWnews.com – Resesi dunia nampaknya akan terjadi. Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) bahkan memprediksi sepertiga dunia akan mengalaminya.
“Kami memperkirakan sepertiga dari ekonomi dunia akan berada dalam resesi,” kata Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana IMF kepada CBS, sebagaimana dilansir CNBC, Kamis (5/1/2023).
Mesin utama pertumbuhan yaitu Amerika Serikat (AS), Eropa, dan China, semuanya mengalami aktivitas yang melemah.
“Tahun 2023 akan lebih sulit dari tahun lalu karena ekonomi AS, Uni Eropa dan China akan melambat”, katanya.
Sedangkan Ekonom Bank of America memprediksi Negeri Paman Sam akan mengalami resesi di juga di kuartal I-2023, saat PDB-nya mengalami kontraksi 0,4%.
“Kabar buruknya di 2023, proses pengetatan moneter akan menunjukkan dampaknya ke ekonomi,” kata ekonom Bank of America, Savita Subramanian, sebagaimana dilansir Business Insider, akhir November lalu.
Sementara itu survei yang dilakukan Reuters pada bulan November terhadap para ekonom menunjukkan kemungkinan resesi terjadi di zona euro sebesar 78%, naik dari survei Oktober lalu sebesar 70%.
PDB di kuartal IV-2022 diperkirakan akan mengalami kontraksi 0,4%, begitu juga pada periode Januari – Maret 2022. Sehingga secara teknis disebut mengalami resesi pada 3 bulan pertama tahun ini.
Berdasarkan data Trading Economics, nilai perekonomian Uni Eropa pada 2021 sebesar US$ 17,2 triliun, sementara total perekonomian global sebesar US$ 96,5 triliun. Artinya, Uni Eropa sudah mewakili 17,8% dari total produk domestik bruto (PDB) global.
Sementara Amerika Serikat, perekonomian terbesar di dunia nilainya sebesar US$ 23,3 triliun, mewakili 24,2% dari PDB global.
Keduanya saja sudah berkontribusi sekitar 42% dari PDB global.
Ada lagi Inggris yang menyumbang 3% dari PDB global, sudah “mendeklarasikan” akan mengalami resesi panjang.
“Pertumbuhan ekonomi diproyeksikan akan terus merosot selama 2023 dan berlanjut hingga semester I-2024 akibat tingginya harga energi dan pengetatan kondisi finansial akan membebani belanja rumah tangga,” kata bank sentral Inggris (BoE) awal November lalu.
Lebih buruk lagi, Confederation of British Industri (CBI) memperingatkan Inggris bisa mengalami “dasawarsa yang hilang” atau “lost decade”. Jepang pernah mengalaminya, di mana pertumbuhan ekonominya sangat rendah hingga negatif pada periode 1991 – 2000.
“Inggris dalam stagflasi – dengan inflasi yang sangat tinggi, pertumbuhan ekonomi negatif, penurunan produktivitas dan investasi bisnis,” kata Tony Danker, Direktur Jenderal CBI sebagaimana dilansir CNN Business.
CBI menyatakan Inggris kini mengalami kekurangan tenaga kerja terampil. Sebanyak tiga perempat perusahaan dilaporkan mengalami kesulitan mendapatkan tenaga kerja yang mereka butuhkan.
“Kita akan melihat dasawarsa yang hilang jika tidak ada langkah yang diambil. Produk domestik bruto (PDB) adalah pengganda sederhana dari dua faktor: manusia dan produktivitas mereka. Kita tidak memiliki sumber daya manusia yang kita perlukan, begitu juga dengan produktivitasnya,” tambah Danker.
Sedangkan Jepang juga diprediksi akan mengalami resesi oleh Capital Economics.
“Kami pikir Jepang akan mengalami resesi pada 2023, yang terjadi akibat penurunan ekspor,” kata Marcel Thieliant, ekonom senior Capital Economics
Jepang merupakan negara dengan nilai ekonomi terbesar ketiga dunia, dengan kontribusi 5% ke PDB global.
Dari senua itu, jik melihat China, bisa dilihat bahwa PDB China pada 2021 mencapai US$ 17,7 triliun dengan kontribusi 18,4% ke global, resesi kemungkinan besar tidak akan dialami. Namun, Negeri Tiongkok akan mengalami periode perekonomian tergelap dalam beberapa dekade terakhir.
Survei Reuters terhadap 40 ekonom menunjukkan pada 2022 perekonomian China diperkirakan hanya tumbuh 3,2%, Angka tersebut jauh di bawah target pemerintah 5,5%.
Jika tidak memperhitungkan tahun 2020, ketika dunia dilanda pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19), maka pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tersebut menjadi yang terendah sejak 1976. Pada 2020 lalu, PDB China tumbuh 2,2% saja, tetapi hal yang sama juga melanda dunia.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva juga mengungkapkan China akan mengalami masa yang berat.
“Untuk pertama kalinya dalam 40 tahun, pertumbuhan China pada 2022 kemungkinan berada di bawah atau di bawah pertumbuhan global,” kata Georgieva kepada CBS, dikutip Reuters, Senin (2/1/2023).
Lonjakan baru kasus Covid yang diperkirakan terjadi di Negeri Tirai Bambu dalam beberapa bulan ke depan kemungkinan akan makin memukul ekonominya tahun ini dan menyeret pertumbuhan regional dan global.
“Untuk beberapa bulan ke depan, akan sulit bagi China, dan dampaknya terhadap pertumbuhan China akan negatif, dampaknya terhadap kawasan akan negatif, dampak terhadap pertumbuhan global akan negatif,” katanya.
Amerika Serikat, Uni Eropa, Inggris dan China, hija digabungkan semuanya berkontribusi sekitar 68% dari perekonomian global, negara-negara lain yang mengalami inflasi tinggi dan bank sentralnya agresif menaikkan suku bunga juga berisiko mengalami resesi, sehingga wajar 2023 dikatakan menjadi tahun yang berat. (Tim**)