Oleh: KH. Zahrul Azhar Asumta
Tokoh Muda NU
Pengasuh Ponpes Queen Darul Ulum
Alhamdulillah tak lama sepulang dari Saudi di musim haji yg lalu saya sekarang berkesempatan lagi dapat berziarah lagi ke makam baginda Rasulullah di Madinah. Tidak ada perubahan yang signifikan diselang waktu tiga bulan ini. Yang mencolok adalah perbedaan hawanya yang memasuki musim dingin sekitar 24-26 derajat, jauh berbeda dimusim haji yang lalu dengan rata-rata 47-49 derajat.
Seperti halnya catatan saya di musim haji yang lalu, perbedaan mencolok antara Saudi kini dan masa lalu adalah pelibatan perempuan pada sektor layanan publik yang di masa lalu mustahil kita melihat para perempuan ada dalam garda depan pelayanan publik misal di imigrasi.
Jika pada musim haji yang lalu dari belasan counter pemeriksaan paspor ada lima petugas perempuan ada yan bercadar dan ada yang hanya berhijab. Namun di saat kemarin saya llanding di bandara internasional Madinah, seluruh counter disisi oleh petugas perempuan. Petugas pria hanya mengantrol dan menjaga pintu akhir pemeriksaan paspor pada lembar visa saja.
Makin kesini, perempuan makin diberi peran oleh kerajaan Arab Saudi sekarang yang seakan ingin mengejar ketertinggalan dalam emansipasi perempuan dan kesetaraan gender. Namun apapun jika dilakukan tidak dengan natural. Terkadang ada saja yang terasa mengganjal dalam hati, termasuk penulis.
Ada hal baru di wilayah tanah haram. Ketika saya tiba di hotel dalam komplek Masjidil Haram, ada perempuan dengan kerudung sekenanya sedang menerima telepon sambil tertawa keras yang membuat para jamaah umroh tertuju padanya.
Saya befikir, kenapa saya melihat ini hal aneh? Apa Karena mindset dalam pikiran saya sudah ter”racuni” tentang nilai-nilai yang sudah tertanam tentang kesucian kota Madinah? Atau tentang kepantasan seorang wanita muslimah? Entahlah.
Kebijakan Kerajaan Saudi dibawah kepemimpinan ( defacto) Muhammad Bin Salman (MBS) memang boleh dibilang revolusioner. Event konser musik, dan bar-bar “dunia malam” sudah bisa dijumpai di kota-kota Riyadh dan Jeddah. Para perempuan pun sudah kelihatan di jalan-jalan mengemudikan kendaraan sendiri.
Sempat seorang sopir mukimin menyampaikan kesaya; “hati-hati kalo nyetir berdekatan dengan kendaraan yg dibawah harem. Mereka kadang seenaknya belok tanpa riting dan suka ngerem mendadak”, dan saya jawab; “bukanya memang wanita itu sulit dimengerti?” Hehehe.
Seiring dengan keterbukaan di Saudi yang diinisiasi oleh pemimpinnya (top Down), gerakan revolusi budaya ini juga terjadi di Iran dan bahkan menimbulkan demonstrasi besar besaran dilakukan oleh warga Iran yang jengah dengan ketatnya peraturan selama ini yang mempersempit ruang gerak perempuan disana. Gelombang demonstrasi makin membuncah ketika meninggalnya seorang aktivis perempuan Mahsa Amini di tangan polisi moral hanya karena dianggap tidak sempurna menutup rambutnya dalam berhijab.
Pada 13 September lalu, Perempuan berusia 22 tahun ini ditangkap dan dianiaya oleh Polisi Moral Iran. Alasan penangkapan tersebut dikarenakan Mahsa Amini dianggap melanggar aturan hijab yang berlaku. Kemudian pada 16 September, Mahsa yang berasal dari Provinsi Kurdistan ini dinyatakan meninggal di rumah sakit setelah menjalani perawatan selama 48 jam karena penganiayaan tersebut.
Reaksi keras datang dari kalangan akademisi dan mahasiswa. Banyak para mullah dan pemuka agama dilecehkan oleh para mahasiswa sebagai bentuk protes dan sindirian atas aturan aturan agama yang mengikat keras langkah dan gerak rakyatnya sememtra (menurut mahasiswa setempat). Sebagian dari para pemuka agama dan pemerintahan melakukan tindakan yang tidak mencerminkan pemuliaan kepada perempuan dengan adanya praktek mut’ah dan sejenisnya.
Bnyak penutup kepala dan jubah para mullah dan ulama disana dipaksa dilepas dipinggir jalan oleh demonstran dan aktivis. Aksi pembakaran ban dan blokade jalan menuju kampus menambah situasi makin genting.
Saya menduga selain kasus kematian Mahsa Amini, para mahasiswa juga pasti melihat langkah revolusioner MBS dalam membawa Saudi menuju era modern ini menginspirasi mereka untuk melakukan gerakan gerakan jalanan yang sampai sekarang masih berlangsung.
Memang dengan praktek pengekangan yang diterapkan para rakyat Iran akan berdampak pada kejenuhan dan kejengahan mereka dalam beragama karena tanpa disertai adanya pengetatatan pada arus informasi global. Hal ini berbeda dengan Korea Utara misalnya, yang mengekang rakyatnya sekaligus mensortir informasi yang masuk ke negaranya secara ketat.
Dalam sebuah Artikel yg dimuat di DW.com, menyebutkan bahwa ada sebuah survei baru terhadap 50 ribu orang yang diwawancarai oleh grup untuk Menganalisis dan mengukur sikap di Iran (GAMAAN), menemukan bahwa tidak kurang dari 47% melaporkan “telah beralih dari beragama ke non-agama.”
Perpindahan keyakinan ini sebagai konsekuensi logis dari sekularisasi Iran. Masyarakat Iran telah mengalami transformasi besar, seperti tingkat literasi yang dahsyat, perubahan ekonomi yang memengaruhi struktur keluarga tradisional ditambah denhan tingkat penetrasi internet yang tumbuh hingga sebanding dengan Uni Eropa.
Sementara itu, dari 99,5% angka sensus Syiah Iran, GAMAAN menemukan bahwa 78% peserta percaya pada Tuhan, tetapi hanya 32% yang mengidentifikasi diri mereka sebagai Muslim Syiah.
Angka-angka ini menunjukkan bahwa 9% mengidentifikasi dirinya sebagai ateis, 8% sebagai Zoroastrian, 7% sebagai spiritual, 6% sebagai agnostik, dan 5% sebagai Muslim Sunni. Sekitar 22% lainnya tidak terkait dengan agama mana pun.
Dua kasus diatas yang sekarang berlangsung ini semoga bisa memberikan pelajaran bagi kita tentang penting nya kita bersikap wasatiyah dalam beragama. Karena agama tidak bisa terlepas dari perkembangan zaman yang harus dianntisipasi dengan bijak. Agama harus bisa menjawab tantangan zaman, agama harus bisa memberikan solusi atas problematika kehidupan yang ada.
Agama harus hadir dalam setiap relung kehidupan sebagai problem problem solver bukan jutru sebagai penghambat terwujudnya masyarakat moderen yang madani.
Semoga keterbukaan yang ditawarkan oleh MBS tidak sampai pada titik penghilangan dan pensibian nilai -nilai Islam yang moderat dan semoga revolusi Iran yang hingga kini masih berlangsung dapat membawa Iran lebih terbuka dan maju dalam keterbukaan beragama yang lebih humanis. Seperti halnya Iran telah mengalami kemajuan dalam teknologi dan IT yang sudah mulai diakui dunia.