Umum  

Ketika Restorasi Melahirkan Fasisme – Otokritik untuk NasDem dan Surya Paloh

Oleh: Dodi Ilham

1. Pendahuluan

Bang Surya Paloh selalu dikenal sebagai figur yang karismatik, idealis, dan nasionalis dalam retorika politiknya. Melalui gagasan Restorasi Indonesia, ia mencoba menghidupkan kembali semangat moral dan etika politik di tengah kerusakan sistem demokrasi pasca-reformasi.

Namun, perjalanan waktu menunjukkan bahwa restorasi yang diusung NasDem justru mulai melahirkan gejala yang berlawanan dengan cita-citanya sendiri: kecenderungan fasisme politik berbasis plutokrasi dan oligarki.

Partai yang semula didirikan untuk memulihkan etika politik, justru berubah menjadi instrumen kekuasaan yang bergantung pada kekuatan modal dan figur sentral tunggal — menyingkirkan proses kaderisasi yang sehat dan partisipatif.

2. Restorasi yang Salah Jalan

Filsafat Restorasi Indonesia sesungguhnya lahir dari semangat untuk memperbaiki tatanan politik nasional agar lebih beretika dan berpihak pada rakyat. Namun ketika semangat itu dibungkus oleh romantisme kekuasaan dan ketergantungan terhadap figur tunggal, restorasi berubah menjadi personalisasi partai.

NasDem membangun citra “modern dan nasionalis”, tapi gagal menciptakan sistem kaderisasi internal yang kokoh.

Alih-alih membangun kader dari kalangan aktivis pro-demokrasi atau intelektual organik, NasDem justru membuka ruang lebar bagi para pengusaha, pejabat, dan bekas birokrat yang membawa kepentingan modal.

Dengan begitu, plutokrasi menjadi ideologi de-facto partai. Ketika plutokrasi mendominasi, fasisme tak lagi datang dari ideologi ekstrem, melainkan dari sentralisasi kendali dan kemandekan regenerasi politik.

3. Dari Restorasi ke Fasisme

Sejarah telah memberi pelajaran bahwa fasisme sering lahir dari gerakan restoratif. Jepang melahirkan fasisme melalui Restorasi Meiji; begitu pula NasDem yang melahirkan dominasi elit-elit modal melalui jargon Restorasi Indonesia.

Restorasi yang tidak berpihak pada rakyat, tanpa basis ideologis yang jelas, akan kehilangan arah dan berubah menjadi alat untuk menertibkan rakyat, bukan memerdekakan mereka.

Fasisme bukan hanya soal kekerasan atau simbol militeristik, tetapi tentang penguasaan wacana dan struktur politik oleh segelintir orang yang merasa paling tahu arah bangsa.

4. Kesalahan Kalkulasi Politik Surya Paloh

Bang Surya seolah lupa bahwa dalam politik, ilmu kebatinan strategi jauh lebih penting daripada kalkulasi elektoral sesaat.

Ketika ia mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Capres dari NasDem dalam Pilpres 2024, seolah ada keyakinan bahwa efek domino dukungan publik terhadap Anies akan mendongkrak elektabilitas NasDem.

Padahal, sejarah justru menunjukkan hubungan antara Anies dan NasDem pada Pilkada DKI 2017 adalah hubungan yang saling berhadapan, bukan sejalan.

Dalam ilmu strategi klasik, Julian Corbett telah berfatwa:

> “You can build a ship in three years, but you cannot rebuild a relationship in 300 years.”

Artinya, sebuah infrastruktur politik bisa dibangun dengan cepat, tapi kepercayaan politik — apalagi yang pernah retak — tidak bisa dipulihkan hanya dengan deklarasi manis.

Maka, langkah mendukung Anies tanpa basis historis dan ideologis yang kokoh hanyalah pertaruhan pragmatis yang menggerus marwah restorasi itu sendiri.

5. Surya Paloh dan Strategi Memutar

Kini, langkah Surya Paloh menemui Menhan Sjafrie Sjamsoeddin ketimbang langsung ke Presiden Prabowo adalah simbol strategi politik memutar — mencari jalan belakang untuk membaca arah kekuasaan tanpa harus bersentuhan langsung dengan pusatnya.

Di satu sisi, langkah itu cerdas. Ia menempatkan diri sebagai observer yang tidak frontal. Namun di sisi lain, langkah itu memperlihatkan ketakutan politik — bukan ketajaman strategi.

Kenapa takut?
Kalau kaderisasi di internal NasDem berjalan dengan sistematis dan terarah, Surya Paloh tak perlu khawatir kadernya direbut PSI atau didekati Jokowi.

Masalahnya bukan pada PSI, tapi pada NasDem yang gagal melakukan kaderisasi yang terencana dan meritokratik.

6. Kegagalan Teleologis

Teleologi politik NasDem — yaitu arah akhir yang seharusnya ditempuh — mestinya adalah kemandirian ideologis dan regenerasi kader.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya: partai bergantung penuh pada figur sentral. Ketika figur itu goyah, seluruh bangunan ideologi ikut oleng.

Bang Surya Paloh mungkin berpikir bahwa selama ia menjaga hubungan baik dengan semua pihak, partainya akan aman. Padahal, nasionalisme kebangsaan bukan ruang kompromi politik. Ia adalah ruang iman kebangsaan yang mesti dijaga dengan disiplin ideologis dan moral.

Maka, teleologi NasDem gagal karena kehilangan roh ideologi yang konsisten.

7. Janji Moral yang Patah: Antara Retorika dan Realitas

Pada 3 Juni 2015, Surya Paloh dengan lantang menyatakan di hadapan para kader di Hotel Mercure Ancol:

> “Tidak layak Partai NasDem dipertahankan bila ada kadernya yang terbukti korupsi.”

Pernyataan itu menjadi semacam fatwa moral yang menegaskan semangat antikorupsi partai.

Namun, waktu membuktikan bahwa realitas berbicara lain.
Beberapa elit NasDem justru terseret dalam kasus-kasus korupsi besar:

Johnny G. Plate, Menteri Komunikasi dan Informatika, dalam kasus BTS/Kominfo.

Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pertanian, dengan dugaan aliran dana korupsi ke partai.

Anggota DPR Fraksi NasDem, diperiksa KPK terkait dana CSR BI dan OJK.

Dua eks Wali Kota Medan dari NasDem yang tersandung kasus korupsi namun kembali maju sebagai caleg.

Daftar ini membuktikan bahwa semangat restorasi telah jauh bergeser menjadi reformasi kepentingan pribadi dan jaringan modal.

Lebih ironis lagi, Surya Paloh kemudian mengoreksi ucapannya sendiri pada 5 Oktober 2023, menyatakan:

> “Enggak ada yang lebih tolol dari ketua umum partai yang mengatakan kalau ada kader partai korupsi kemudian partainya dibubarkan. Bodoh dia.”

Dengan koreksi itu, Surya Paloh seolah menarik kembali nilai moral yang dulu ia junjung tinggi. Di sinilah restorasi berubah menjadi retorika kosong.

8. Penutup: Jangan Bermain-Main dengan Nasionalisme Kebangsaan

NasDem lahir dari semangat nasionalisme moral, bukan sekadar ambisi elektoral. Tapi bila restorasi yang dulu diagung-agungkan kini berubah menjadi kendaraan plutokrasi dan inkonsistensi moral, maka bangsa ini berhak melakukan otokritik.

Surya Paloh harus sadar, nasionalisme bukan panggung kompromi, melainkan medan integritas.
Ia boleh berstrategi memutar, boleh berdiplomasi politik, tapi jangan bermain-main di ranah kebangsaan bila ingin dikenang sebagai negarawan.

Sejarah tidak mengenang siapa yang paling lihai bernegosiasi, tetapi siapa yang paling berani memegang teguh nilai yang diyakini.

 

✍️ Jakarta, 19 Oktober 2025
Dodi Ilham
Mantan Kader Partai NasDem | Presiden GOBER Community | General Secretary CNSS Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *