Monwnews.com, Bencana ekologis yang melanda Sumatera bukanlah musibah alam dalam pengertian murni. Ia adalah akumulasi keputusan politik, pembiaran hukum, dan kesengajaan struktural yang berlangsung lama, lintas rezim, namun kini mencapai titik kulminasi yang tak lagi bisa disembunyikan. Menyebutnya sebagai “bencana alam” semata adalah bentuk kebohongan publik yang dilembagakan.
Jika kita jujur membaca sejarah, maka persoalan ini bukan barang baru. Sejak era kolonial, tanah dan hutan Indonesia selalu diposisikan sebagai objek eksploitasi. Feodalisme lama—yang menempatkan raja dan elite lokal sebagai penguasa tanah—memang runtuh secara formal ketika republik berdiri. Namun keruntuhan itu tidak pernah diikuti oleh pembebasan rakyat sebagai subjek pengelola ruang hidupnya.
Konstitusi melalui Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tetapi di sinilah paradoks besar republik ini lahir. Negara keliru menafsirkan “dikuasai” sebagai “dimiliki”, lalu bertindak layaknya tuan tanah baru. Mandat rakyat direduksi menjadi stempel legal untuk menyerahkan konsesi hutan dan lahan kepada segelintir korporasi raksasa.
Akibatnya, feodalisme tidak lenyap—ia bermetamorfosis. Raja-raja lama digantikan oleh korporasi oligarki-plutokrasi, sementara negara berperan sebagai makelar legal yang menyediakan payung hukum, aparat, dan narasi pembenaran. Inilah imperialisme ekonomi modern, yang jauh lebih berbahaya karena beroperasi bukan dengan senjata kolonial, melainkan dengan izin, regulasi, dan retorika “pembangunan”.
Bencana Sumatera adalah bukti empirik yang tak terbantahkan. Pembalakan hutan secara brutal, konsesi tambang dan sawit yang melampaui daya dukung ekologis, serta pengabaian total terhadap masyarakat adat dan petani lokal telah merusak keseimbangan alam. Banjir, longsor, krisis air, dan hilangnya ruang hidup bukanlah “takdir”, melainkan konsekuensi logis dari kebijakan yang berpihak pada modal dan menyingkirkan rakyat.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tidak bisa berlindung di balik dalih kesinambungan kebijakan atau warisan rezim sebelumnya. Justru karena kekuasaan berada di tangannya hari ini, tanggung jawab politik dan moral sepenuhnya berada di pundaknya. Negara tidak boleh terus bersembunyi di balik jargon supremasi sipil, sementara praktik di lapangan menunjukkan supremasi modal yang telanjang.
Supremasi sipil sejati bukanlah ketika negara tunduk pada mekanisme prosedural belaka, apalagi pada kepentingan korporasi. Supremasi sipil adalah ketika rakyat—petani, masyarakat adat, komunitas lokal—menjadi subjek utama pengambilan keputusan atas ruang hidupnya sendiri. Ketika negara gagal menjamin itu, maka yang terjadi bukan supremasi sipil, melainkan kamuflase demokrasi untuk melindungi perampasan.
Secara teoritis, apa yang terjadi persis seperti yang diperingatkan Gunnar Myrdal tentang soft state: negara yang hukum dan kebijakannya mudah dibeli oleh elite ekonomi. James C. Scott telah lama menjelaskan bahwa kebijakan negara yang tidak partisipatif akan selalu berujung pada kegagalan dan perlawanan diam-diam. Gunawan Wiradi menegaskan bahwa reforma agraria tanpa rakyat sebagai subjek hanyalah slogan kosong. Semua ini bukan opini—melainkan pengetahuan ilmiah yang telah teruji oleh waktu dan fakta lapangan.
Maka, jika hari ini Sumatera tenggelam oleh banjir dan luka ekologis, itu adalah cermin kegagalan negara membaca sejarahnya sendiri. Mengganti feodalisme lama dengan imperialisme baru tidak membuat republik lebih beradab; hanya membuat penindasan lebih rapi dan legal.
Refleksi akhir tahun ini harus dibaca sebagai peringatan keras, bukan seruan emosional. Jika negara terus memilih berpihak pada oligarki-plutokrasi, maka ia sedang menyiapkan bencana yang lebih besar—bukan hanya ekologis, tetapi juga sosial dan politik. Republik tidak runtuh karena kritik warga negaranya; republik runtuh karena penguasa yang menolak belajar dari kenyataan.
Sebagai Non-Government Individual, saya menegaskan:
Bencana Sumatera adalah bukti bahwa negara telah gagal menjalankan amanat konstitusi. Dan kegagalan itu tidak bisa lagi ditutupi oleh jargon supremasi sipil, stabilitas, maupun pembangunan.
Sejarah selalu mencatat dengan jujur. Pertanyaannya hanya satu:
apakah negara memilih belajar, atau mengulangi kesalahan dengan korban yang lebih banyak?
Oleh: Dodi Ilham
Non-Government Individual (NGI)












