Fikih Minimalis Kiai Misbah dan Obsesi Fikih Peradaban NU

Moch. Eksan

Oleh: Moch Eksan (Pendiri Eksan Institute)

===============================

SATU pekan ini, terjadi peristiwa mikro kosmos dan makro kosmos di jagad Nahdhatul Ulama (NU). Seorang pengasuh pondok pesantren tertua NU di Jember meninggal dunia, KH Misbah Umar. Dan adanya resepsi Satu Abad NU di Gelora Delta Sidoarjo.

Dua peristiwa yang mengabarkan kematian dan kelahiran ini merupakan siklus alam yang tak bisa dihindari.

Kiai Misbah adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Ulum Sumberwringin. Putra ke-4 KH Umar ini meninggal dalam usia 72 tahun. Adik KH Khotib Umar meninggalkan 3 istri, 13 anak, 25 cucu dan 1 cicit. Seluruh keluarga, para santri dan masyarakat sekitar sangat merasa kehilangan ditinggalkan kiai sederhana dan sabar ini.

Ra Nadhif Misbah Umar, putra pertama dari istri pertama almarhum menceritakan bahwa Kiai Misbah tak pernah marah kepada putra-putrinya. Antara almarhum dengan semua anggota keluarga sangat akrab dan seakan tak ada jarak sama sekali.

Dengan kesabaran tersebut, putra-putrinya tak sungkan konsultasi berbagai hal kepada Kiai Misbah, hatta urusan keharmonisan rumah tangga sekalipun. Almarhum memberikan contoh nyata menjalani kehidupan poligami dengan aman dan damai.

Pada saat Kiai Misbah mau nazak di Rumah Sakit Bina Sehat, semua istrinya berkumpul mendampingi. Almarhum meminta maaf kepada seluruh istrinya satu per satu untuk melupakan segala salah dan khilaf. Semua istrinya spontan mengatakan, bahwa almarhum tak punya salah apa pun. Justru mereka yang banyak berbuat salah kepada almarhum.

Kiai Misbah meninggalkan dunia dengan tenang menuju surgaNya yang damai. Almarhum meninggalkan tauladan fikih minimalis dalam keluarga. Amal ibadahnya memang terlihat biasa-biasa saja, tapi manajemen kalbunya justru berbalut ridha, ikhlas dan sabar.

Laku hati Kiai Misbah inilah yang menjadi kunci keberhasilan membina keluarga bersama istri lebih dari satu dengan harmonis. Nyaris tak ada prahara dalam kehidupan keluarga. Apalagi pertengkaran hebat layaknya cerita sinetron atau telenovela. Semua menerima apa adanya.

Para istri Kiai Misbah adalah perempuan berpayung emas yang punya semangat berbagi. Mereka tak ingin monopoli cinta dan perhatian almarhum. Malah, almarhum masih punya waktu luang yang cukup untuk menyebarkan ilmu melalui pengajian di pesantren dan di masyarakat. Sekadar membaca kitab Sulam Safina atau Sulam Taufiq yang merupakan bacaan pokok bagi kurikulum pesantren di seluruh Tanah Air.

Kiai Misbah ini acapkali disalahpahami lantaran pergaulannya dengan kelompok Islam lainnya. Almarhum akrab dengan tokoh Syiah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Islam transnasional lainnya. Almarhum dianggap oleh sebagian kecil “terpengaruh” faham mereka. Almarhum dengan nada berseloroh menjawab tudingan itu dengan guyon. “Saya memang Syiah. Tapi Syiatur Rasul”, ujar Almarhum sambil tertawa terkekeh-kekeh.

Kiai Misbah adalah Kiai NU tulen. Almarhum penggemar berat Gus Dur dalam mengembangkan pendidikan, toleransi dan agama. Di era kepemimpinannya, lahir Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan kerjasama kuliah dengan Unipar Jember. Pembaharuan pendidikan berlangsung masif dan intensif pasca kepemimpinan pesantren yang berdiri pada 1912 dan dilanjutkan oleh almarhum pada 2012.

Jadi, wafatnya Kiai Misbah sejatinya juga memberi pesan terhadap NU dalam merawat jagad dan membangun peradaban. Bahwa harmoni keluarga adalah modal dari harmoni sosial.

Betapapun konflik sosial dalam skala besar baik berupa perang fisik seperti Rusia-Ukraina maupun berwujud perang dagang seperti Amerika-China, berakar dari ingin menang sendiri dan tak mau berbagi.

Keserakahan menjadi mesin pembunuh peradaban. Imam Baihaqi meriwayatkan hadits, “Hubbud Dunya raksul khothiaat” (cinta dunia adalah biang dari semua kesalahan). Kehidupan sederhana Kiai Misbah meski mengasuh pesantren besar, adalah pilihan hidup zuhud yang tak mau hidupnya dipenuhi oleh ambisi dunia yang tak berujung, selalu merasa kurang dan sibuk tanpa lelah.

Kiai Misbah memilih hidup bahagia dalam kesederhanaan dan sederhana dalam kehidupan. Meski kehidupan dunia pesantren telah banyak bergeser dan melahirkan “konglomerasi” kiai atas amal usaha yang dimilikinya, baik dalam mengelola pendidikan maupun ekonomi pesantren.

Obsesi NU menawarkan fikih peradaban dalam menyelesaikan konflik global dan mewujudkan perdamaian dunia, mesti berangkat dari basis laku sosial harmonis kiai-kiai pesantren dalam lingkungan keluarga, pendidikan dan masyarakat luas.

Pesantren besar yang berusia di atas seratus tahun, sebagai penyangga sosial bagi NU dalam menjaga keutuhan dan kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NU). Mereka para kiai nasionalis yang memadubadankan keislaman dan keindonesiaan sekaligus. “Hubbul Wathan minal Iman” (Cinta tanah air bagian dari iman).

Bersamaan dengan posisi Indonesia yang semakin penting dan strategis dalam percaturan global, NU berpeluang besar untuk berkontribusi bagi pembangunan peradaban dunia.

Sebagai organisasi Islam terbesar di dunia dan dengan kekayaan khazanah intelektual yang melimpah, obsesi NU menjadi episentrum pemikiran dunia Islam akan menurunkan ketegangan peradaban antara Barat dan Timur. Apalagi, Fikih Peradaban yang ditawarkan berpijak pada Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

Penguasaan pada maqashidus syariah dan qawaidul fiqhiyyah serta kultur bahstul massail yang kuat, tak ada kesulitan sedikitpun bagi NU menyandingkan narasi teks kitab kuning dan konteks sejarah Islam dan dunia. Sehingga, lahir fikih baru fikih peradaban.

Hasil penelitian Muhammad Ali Haidar, yang dibukukan menjadi “Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fikih dalam Politik”, memaparkan kemampuan kiai pesantren beradaptasi dengan situasi politik yang sulit. NU berhasil keluar dari jebakan politik rezim penguasa lantaran piawai berakrobat dalam fiqhus siyasah.

Hal yang sama kini, dimainkan oleh NU dalam menghadapi krisis global berlatar perang. Bahwa ikhtiar untuk memperjuangkan sistem khilafah Islamiyyah sudah tak layak. Uji coba yang dilakukan oleh berbagai kelompok justru menimbulkan konflik berdarah dan menjerumuskan negara-negara dunia Islam dalam perang saudara.

Oleh karena itu, NU melalui dua even internasional, baik dalam forum G-20 di Bali maupun muktamar internasional Fikih Perperadaban di Surabaya, menggeser peta jalan hubungan Islam dan Barat. Para ulama dunia dibuka pemikiran keagamaannya bahwa jalan damai negara-negara dunia Islam dengan Barat dengan berpegang teguh pada prinsip Piagam PBB. Sebuah Piagam Perdamaian yang dianggap sah dalam tinjauan hukum Islam.

Pesan damai dari Sumberbringin Jember dan Gelora Delta Sidoarjo, telah membuka mata dunia. Pesantren sebagai NU kecil dan NU sebagai pesantren besar, telah memadamkan api peperangan dalam alam pemikiran. Semua pasti sepakat, pemikiran damai akan melahirkan negara yang damai dan dunia yang damai pula. (Eksan)