Sampah dan Kuasa

Oleh: Dewangga Evan Pratama

Surabaya kerap dinobatkan sebagai kota yang berhasil dalam pengelolaan sampah. Pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) mencatat bahwa pada 2021, jumlah timbulan sampah harian mencapai 1.585 ton. Dari jumlah tersebut, sekitar 54 persen berupa sampah organik dan 19 persen adalah plastik. Berbagai program dicanangkan: bank sampah, TPS3R, edukasi lingkungan, hingga pengolahan sampah menjadi energi di TPA Benowo. Kota ini dinilai lebih bersih dan lebih tertib dibanding banyak kota besar lain di Indonesia.

Namun keberhasilan tersebut perlu dibaca secara kritis. Meningkatnya volume sampah plastik dari rumah tangga, hotel, restoran, dan industri menunjukkan bahwa sistem pengelolaan masih berorientasi pada pengendalian, bukan pencegahan. Di sisi lain, masyarakat terus didorong untuk memilah sampah, bergabung dalam bank sampah, atau mengikuti pelatihan lingkungan. Semua ini seolah menjadi tanggung jawab warga, tanpa kewajiban serupa yang dibebankan kepada produsen kemasan atau pelaku bisnis yang menghasilkan limbah dalam skala besar.

Kondisi ini mencerminkan cara kekuasaan bekerja dalam masyarakat modern, sebagaimana dijelaskan oleh Michel Foucault melalui konsep governmentality. Kekuasaan tidak lagi hadir dalam bentuk larangan, melainkan dalam pengaturan halus terhadap cara berpikir dan bertindak. Edukasi lingkungan menjadi alat untuk membentuk warga ideal—yaitu warga yang patuh, terlibat, dan merasa bersalah bila tidak berpartisipasi. Di sinilah kekuasaan bekerja: warga merasa bertanggung jawab atas sampah yang mereka konsumsi, tetapi tidak memiliki kuasa untuk mencegah produk-produk sekali pakai beredar masif di pasar.

Data DLH Surabaya pada 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen sampah yang berhasil didaur ulang bukan berasal dari rumah tangga atau bank sampah formal, melainkan dari sektor informal—pemulung, lapak, dan pengepul. Artinya, sistem resmi yang dibangun pemerintah kota sebenarnya sangat tergantung pada kerja kelas bawah yang tidak terintegrasi secara adil ke dalam kebijakan. Mereka yang paling berjasa dalam mencegah sampah masuk ke TPA justru tidak dianggap sebagai bagian dari solusi dalam narasi resmi kota.

Pengalihan tanggung jawab ini juga tampak dari tidak adanya regulasi tegas terhadap produsen. Sebagian besar plastik yang beredar di pasar—mulai dari kemasan makanan, botol air mineral, hingga kantong belanja—masih berasal dari produsen besar yang tidak diwajibkan menarik kembali kemasan mereka. Padahal, prinsip Extended Producer Responsibility (EPR) telah menjadi standar internasional dalam kebijakan lingkungan. Surabaya bisa jadi kota bersih, tetapi bersihnya kota tidak berarti produsen bertanggung jawab.

Dalam perspektif Foucault, keberhasilan semacam ini menciptakan subjek-subjek yang dapat diatur. Warga dilatih untuk merasa bahwa mereka adalah aktor utama dalam menyelesaikan persoalan sampah. Mereka terlibat dalam lomba kampung bersih, mendapat piagam bank sampah terbaik, atau dihargai karena jumlah kilogram plastik yang berhasil dikumpulkan. Tapi yang jarang dibicarakan adalah bagaimana warga tidak pernah benar-benar punya pilihan dalam menentukan sistem produksinya. Mereka tetap konsumen dari produk yang dibungkus plastik, karena alternatifnya nyaris tidak ada.

Pengelolaan sampah yang dianggap sukses seringkali hanya berpindah dari “mengangkut ke TPA” menjadi “menyebarkan ke rumah-rumah”. Beban pemerintah turun, biaya penanganan dibagi rata, dan sistem tetap berjalan tanpa menyentuh akar permasalahan. Sampah bukan lagi semata urusan teknis, melainkan persoalan politik dan etika. Siapa yang menciptakan limbah? Siapa yang diuntungkan? Siapa yang menanggung bebannya?

Surabaya mungkin berhasil membangun sistem yang rapi, tetapi pertanyaan mendasarnya tetap belum dijawab. Kota ini bersih, tetapi apakah ia adil? Jika warga terus diminta memilah sampah, mengurangi konsumsi, dan mendaur ulang, kapan giliran korporasi ikut bertanggung jawab? Jika keberhasilan lingkungan hanya dinilai dari jumlah tonase yang tidak masuk TPA, maka kita telah mengaburkan kenyataan bahwa sistem ini dibangun di atas ketimpangan kuasa.

Sampah adalah gejala dari krisis yang lebih besar—krisis distribusi tanggung jawab. Di tangan negara, sampah menjadi alasan untuk mengatur warganya. Di tangan pasar, sampah adalah biaya eksternal yang bisa dialihkan. Dalam sistem seperti ini, warga bukan hanya dibebani, tetapi juga dijadikan alat pembenaran. Bahwa kota bersih, karena warganya baik. Padahal, keberhasilan yang tidak menyentuh kekuasaan hanya akan menunda kerusakan yang lebih dalam.