Oleh: Ngatawi Al Zastrouw**
============================
SALAH SATU pasal kontroversial yang ada dalam KUHP yang baru saja disahkan DPR beberapa waktu lalu adalah mengenai perselingkuhan dan perzinahan. Pasal 284 KUHP baru menyebutkan, seorang suami atau istri yang berselingkuh dan berzina dapat diancam dengan pidana penjara selama 9 bulan, jika dilaporkan oleh pasangannya atau orang yang berwenang. Selain mengatur masalah perselingkuhan KUHP baru ini juga mengatur masalah perzinahan dan kumpul kebo (kohabitasi) yang diancam dengan hukuman penjara dan denda.
Masalah perzinahan dan perselingkuhan ini sebenarnya sudah mendapat perhatian masyarakat Nusantara sejak dulu kala. Di kalangan masyarakat Nusantara, perzinahan dan perselingkuhan merupakan tindakan nista yangmenjadi aib tidak hanya bagi pelaku, tetapi juga bagi keluarga dan masyarakat. Selain itu, tindakan tersebut dianggap dapat dapat memancing datangnya musibah (balak) pada orang yang melakukan maupun masyarakat yang mebiarkan. Atas dasar itulah maka masyarakat Nusantara memberikan hukuman yang berat dan tegas terhadap tindakan zina dan perselingkuhan. Hal ini dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera yang dapat mencegah terjadinya perzinahan dan perselingkuhan.
Pentingnya mencegah perzinahan dengan hukuman ini tercermin dalam berbagai bentuk hukum adat baik tertulis maupun tidak tertulis.
Naskah hukum klasik Nusantara yang membahas masalah perzinahan dan perselingkuhan ini diantaranya serat Negarakretagama. Dalam naskah ini disebutkan sangsi berupa hukuman mati bagi lelaki yang berani melecehkan derajat perempuan.
Slamet Mulyana dalam buku “Tafsir Sejarah Negarakretagama” menyebutkan undang-undang ini tidak hanya mencerminkan adanya pandangan aib terhadap perzinahan dan perselingkuhan, tetapi juga merupakan bentuk perlindungan terhadap kaum perempuan dan kenjaga keutuhan rumah tangga.
Demi mencegah terjadinya perselingkuhan dan perzinahan, naskah undang-undang Negarakretagama juga mengatur tentang adab atau tatacara seorang lelaki harus berkomunikasi dengan perempuan yang telah bersuami.
Selain serat NegaraKretagama, kitab undang-undang yang membahas masalah perzinahan dan perselingkuhan adalah kitab Agama, yang juga dibuat pada masa kerajaan Majapahit. Agama merupakan kitab undang-undang yang mengatur tentang pencurian, jual beli, perkawinan dan perbuatan mesum. Bagian yang mengatur tentang tindakan mesum ini disebut dengan Paladara. Secara harfiah Paaladara berartiistri orang lain, namun secara hukum Paladara bermakna perbuatan tidak senonoh terhadap istri orang lain.
Undang-undang Paladara yang ada dalam kitab Agama ini pada hakekatnya dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada keluarga agar dapat menciptakan kehidupa yang tentram dan damai. Apapun yang dianggap berpotensi mengganggu ketenraman dan keutuhan keluarga, apalagi sampai selingkuh dan zina, perlu mendapat hukuman yang berat. Kitab undang-undang ini terdiri dari 17 pasal yaitu dari pasal198 sampai 214.
Dalam pasal-pasal tersebut dijelaskan beberapa perbuatan yang dikatagorikan sebagai tindak pidana mesum adalah menggangu, meniduri, memegang, meraba (grepe-grepe), berbicara di tempat sepi, melakukan pertemuan diam-diam, mengajak lari istri orang maupun wanita pada umumnya. Semua tindakan ini diancam dengam hukuman denda, penjara sampai hukuman mati. Acaman hukuman ini tidak hanya bagi pelaku yang berbuat tidak senonoh, tetapi juga bagi orang lain yang menyediakan tempat. Disebutkan dalam undang-undang tersebut, orang yang menyediakan tempat mesum bagi lelaki dan perempuan bukan suami instri didenda 4.000 laksa.
Pada era kerajaan Demak, pasal-pasal tentang Paradara ini juga dipakai. Menurut Rachmad Abdullah, pasal Paradara ini dimasukkan dalam Kitab Angger-angger Surya Nyalam yang merupakan kitab undang-undang kesultanan Demak. Disebutkan, Paradara merupakan pasal yang mengatur perbuatan mesum, pelecehan seksual, pemerkosaan dan perzinahan. Pelaku tindakan tersebut diancam sangsi hukuman fisik, penjara sampai hukuman mati.
Selain undang-undang tertulis Demak dan Majapahit, hukum perzinahan dan perselingkuhan ini ada dalam peraturan adat di berbagai daerah di Nusantara. Misalnya dalam masyarakat adat suku Tolaki di Sulawesi Tenggara, yang memiliki hukum adat mengenai perzinahan dan perselingkuhan yang disebut Tolaki. Dalam hukum adat Tolaki ini dijelaskan secara rinci jenis-jenis persetubuhan atau umoapi dan berbagai bentuk hukumannya. Menurut hukum adat Tolaki, perzinahan dibagi menjadi dua jenis; umoapi owose (perzinahan dengan pemberatan) dan umoapi mohewu (perzinahan biasa). Ada juga jenis umoapi wali yaitu persetubuhan dengan istri orang dan umoapi sarapu atau peersetubuhan dengan tunangan orang. Keduanya masuk dalam katagori umoapi owose yang diancam dengan hukuman berat (Hendrawan, 2016; 207).
Di Kabupaten Seluma, ada kitab Simbur Cahyo, yang menjadi acuan hukum adat Seluma. Dalam kitab tersebut terdapat aturan mengenai perzinahan yang disebut dengan “Mena Gawe”. Aturan ini terdapat dalam pasal 45 Kitab Sumbur Cahyo, yang menyatakan: Mena Gawe adalah zina baik terhadap bukan muhrim maupun muhrimnya sendiri. Selanjutnya kitab tersebut menjelaskan berbagai jenis Mena Gawe (perzinahan) dengan berbagai bentuk hukumannya, diantaranyahukuman denda, diusir atau diasingkan dari kampung. Hukuman ini tidak hanya untuk pelaku zina tetapi juga penyedia tempat (Elon Suparlan, 2018; 170).
Inilah beberapa contoh hukum adat mengenai perzinahan dan perselingkuhan. Semua ini mencerminkan bahwa di kalangan masyarakat Nusantara, Perzinahan dan perselingkuhan merupakan sesuatu yang mendapat perhatian karena dianggap memiliki pengaruh penting dalam konstruksi sosial budaya. Melihat berbagai konstruksi hukum adat, masuknya pasal perzinahan dan perselingkukan dalam KUHP yang baru saja disahkan sebenarnya memiliki akar kultural dan antropologi yang kuat dalam bangunan sosial budaya masyarakat Nusantara. .
Meskipun memiliki akar kultural antropologi yang kuat, namun tetap saja pasal tentang perzinahan dan perselingkuhan memancing kontroversi. Para aktivis HAM khawatir pasal ini akan menimbulkan “polisi moral” di tengah masyarakat. Selain itu, pasal perselingkuhan dan perzinahan ini dapat memicu jumlah perkawinan anak. Sebagaimana dinyatakan Sekar Banjaran Aji dari ELSAM bahwa pasal-pasal ini memberikan wewenang pada orang tua untuk mengadukan anaknya sehingga hal ini akan dapat memicu peningkatan jumlah perkawinan anak dengan alasan menghindari perzinahan (Tempo.co).
Sebagian lagi yang kontra dengan pasal ini beralasan bahwa selingkuh dan hubungan sex adalah urusan pribadi seseorang. Hukum tidak perlu mengatur privacy seseorang, yang penting si pelaku dapan menjaga kerahasiaan masing-masing pihak sehingga tidak melukai atau menyakiti serta merugikan pihak lain. Kelompok ini mengacu pada negara-negara lain yang menganggap perzinahan dan perselingkuhan bukan tindak pidana. Misalnya, di India yang mencabut perzinahan sebagai tindakan pidana. Dengan demikian perzinahan tidak lagi dianggap sebagai kejahatan dan pelanggaran hukum. Alasan penghapusan ini adalah karena pasal kriminalisasi perzinahan itu mendiskriminasikan lelaki dan perempuan.
Para pendukung berargumen pasal ini justru untuk melindungi rumah tangga, karena dengan adanya ancaman pidana bagi para pelaku selingkuh maka akan dapat meminimalisir terjadinya perceraian akibat selingkuh dan meningkatkan kesetiaan pada pasangan masing-masing.
Selain itu, menurut mereka yang pro, pasal ini merupakan bentuk kesetaraan dalam hubungan suami istri, karena msing-masing pihak memiliki hak untuk melaporkan jika ada yang merasa tersakiti atau dirugikan akibat perselingkuhan. Dengan kata lain, hak melapor tidak hanya diberikan oleh para suami yang istrinya selingkuh, tetapi juga kepada para istri yang tidak kuat menahan beban hati karena mengetahui suaminya selingkuh.
Baik kelompok yang pro dan kontra sebenarnya sama-sama memiliki niat yang baik terkait dengan penggunaan KUHP sebagai instrumen untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup bersama. Benturan terjadi karena perbedaan perspektif dan kepentingan dari masing-masing pihak. Di sinilah pentingnya pemerintah memberikan penjelasan kepada masing-masing pihak pihak dan menjawab kekhawatiran dari pihak-pihak yang kontra dengan cara membuat hukum turunan yang dapat mengakomodir pemikiran mereka yang kontra dan penyiapan penegak hukum yang tegas untuk meminimalisir terjadinya ekses negatif dari munculnya pasal perzinahana dan perselingkuhan dalam KUHP. (**)