MonWnews.com, Jakarta – Herman Djaya, seorang kakek umur 80 tahun yang tinggal di Pulomas, Pulogadung, Jakarta Timur ini sedang cemas menunggu putusan Peninjauan Kembali (ke-II) yang diajukan pria bernama Mohammad Aziz Wellang yang tidak terima dikalahkan dalam tingkat I, III, dan PK peradilan Tata Usaha Negara (TUN).
Sebagaimana diketahui, sebelumnya kasus Herman Djaya diputus menang di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (No.254/G/2017), Mahkamah Agung RI (No.128K/TUN/2019), dan Peninjauan Kembali/PK (No.108/PK/TUN/2020). Tapi sertifikat pengganti milik lawannya tidak kunjung dicoret oleh Kantor Wilayah BPN Provinsi DKI Jakarta dan Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Pusat.
Padahal produk hukum di atas berarti ada tiga (3) putusan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang secara jelas dan tegas menyatakan Herman Djaya berhak atas kepemilikan tanah yang berlokasi di Jalan Kebon Kacang Raya Nomor 49, RT. 001/08, Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Luas tanah sekitar 465 M2 (empat ratus enam puluh lima meter persegi) yang ditaksir dengan harga kiwari senilai Rp30 miliar.
Sayangnya, Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi DKI Jakarta dan Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Pusat masih menolak mencoret nama Mohammad Aziz Wellang dari Sertifikat Hak Pakai pengganti sehingga sertifikat masih tumpang tindih. Penolakan itu dengan dalih karena pihak Aziz Wellang mengajukan Peninjauan Kembali (ke-II) yang sebenarnya tidak memiliki legal standing lagi. Untuk itulah Herman Djaya minta atensi Menko Polhukam RI, Mahfud MD.
”Tolong Pak Mahfud MD, anda Menteri yang mengerti hukum dan masih jernih melihat kasus. Bayangkan Pak Mahfud, saya sudah 12 tahun menghadapi gugatan tanah melawan Aziz Wellang. Kalau putusan PK saja tidak kunjung dapat dieksekusi, dimana kepastian hukum di negara ini? Mau sampai kapan saya terlibat sengketa ini. Jangan sampai saya mati pun kasus tidak selesai. Kita harus ingat asas hukum Litis Finiri Oportet, bahwa ‘’setiap perkara harus ada akhirnya!” kata Herman Djaya saat diwawancarai, Sabtu (7/01/2023).
Herman Djaya yang kesal dan kecewa dengan kinerja Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi DKI Jakarta dan Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Pusat itu menjelaskan, pihaknya pada 29 Desember 2021 mengirim surat kepada Menteri Agraria Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Hadi Tjahjanto dan Menko Polhukam RI, Mahfud MD supaya mendapat perlindungan hukum, atensi, dan kepastian hukum.
”Pak Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto, tolong tertibkan anak buah anda. Sebagai warga negara yang baik dan taat aturan saya menginginkan kepastian hukum. Mosok saya sudah punya putusan TUN menang sampai PK tapi tidak bisa miliki tanah saya. Dimana keadilan untuk saya, Pak Hadi? Sudah ada putusan PK TUN No.108/PK/TUN/2020, kenapa anak buah anda tetap tidak mau mencoret Sertifikat pengganti atas nama lawan saya (Aziz Wellang)? Tolong Pak Menteri Hadi inspeksi ke bawah barangkali ada yang tidak lurus,” pintanya.
Karena lama dan berliku sengketa tanah yang dialaminya, Herman Djaya pun teringat pidato Menko Polhukam RI, Mahfud MD dalam acara Musyawarah Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam ( MUNAS KAHMI) XI di Palu, Sabtu, 26 November 2022, yang pada pokoknya menyatakan bahwa ”Mafia peradilan saat ini telah berkembang menjadi mafia hukum”.
Untuk itu, ucap Herman Djaya, pihaknya takut bila maraknya perilaku mafia hukum dapat membuatnya kehilangan tanah senilai Rp30 miliar yang terletak di depan mal Thamrin City tersebut.
”Tanpa dimaknai sebagai sebuah intervensi yudikatif, saya harap Pak Mahfud MD dapat melakukan supervisi secara politik hukum (Polkum) guna menjamin bahwa segala putusan hukum yang ada di Mahkamah Agung RI agar benar-benar diputus secara objektif dan sesuai fakta hukum yang berlaku. Saya khawatir kasus saya dengan Nomor Perkara: 129 PK/TUN/2022 diputus bukan berdasarkan faktor objektif. Kalau di PK Kedua ini kalah, saya tidak tahu lagi harus mencari keadilan kemana. Semoga Tuhan ampuni kesalahan kita semua,” pungkasnya.
Selain itu, ujar Herman, pihaknya juga meminta petunjuk kepada Menko Polhukam RI, Mahfud MD tentang apakah sebuah Peninjauan Kembali (PK) dapat diajukan dua kali sehingga proses hukum tak kunjung selesai.
‘’Kan, sudah jelas ada asas hukum Litis Finiri Oportet, bahwa ‘’setiap perkara harus ada akhirnya.’’ Pak Mahfud MD, tolong beri penjelasan kepada saya yang orang awam apakah PK bisa diajukan dua kali? Gara-gara PK kedua yang diajukan lawan saya dalam perkara TUN sekarang saya tidak bisa eksekusi tanah saya. Kalau PK tidak dibatasi mau sampai kapan ujungnya ini? kalau ada PK Kedua, nanti jangan-jangan ada PK Ketiga, Keempat, bahkan Kedua Puluh? Proses hukum macam apa ini,’’ geramnya.
Sebagai informasi, terkait dengan kasus sengketa antara Herman Djaya dan Mohammad Aziz Wellang, sebenarnya Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta melalui surat Nomor: W2.TUN1.2297/HK.06/XI/2019 yang tertera pada Tanggal 21 November 2019 sudah memerintahkan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta (Tergugat I) dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Administratif Jakarta Pusat (Tergugat II) perihal Pengawasan Pelaksanaan Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam surat tersebut, PTUN Jakarta memerintahkan Tergugat I dan II agar melaksanakan putusan PTUN Jakarta Nomor: 254/G/2017/PTUN.JKT, tanggal 3 Mei 2018 Jo. PT TUN Jakarta Nomor: 199/B/2018/PT.TUN-JKT, tanggal 21 September 2018 Jo. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 128K/TUN/2019, tanggal 4 April 2019 yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Saat itu ketua PTUN Jakarta atas nama Dr. H. Hari Sugiharto, SH., MH. Tapi tetap saja Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Administratif Jakarta Pusat tidak patuh pada perintah hukum tersebut. (Tim**)