Monwnews.com, Malang – Hari terakhir Kembul Topeng #3 di Padepokan Seni Mangun Dharma menjadi lebih dari sekadar pergelaran seni. Minggu malam itu, panggung terasa seperti portal waktu yang mempertemukan masa lalu, kini, dan masa depan dalam satu ruang bernama topeng.
Perjumpaan para penari dari berbagai sanggar, komunitas, hingga perguruan tinggi seni tidak hanya memperlihatkan keragaman gaya dan karakter topeng, tetapi juga menghadirkan dialog kultural yang menembus batas geografis dan generasi.
Kehadiran para seniman muda dan maestro dari berbagai daerah menjadikan acara ini bukan sekadar festival, melainkan laboratorium hidup tempat nilai-nilai budaya dilahirkan kembali, dikolaborasikan, dan ditransformasikan menuju horizon baru.
“Kembul Topeng adalah cara kami menjaga warisan leluhur sekaligus membuka pintu masa depan. Di panggung ini, topeng tidak hanya dikenakan, tetapi dihidupkan kembali oleh setiap generasi,” ujar Ki Soleh Adi Pramana, Pimpinan Padepokan Seni Mangun Dharma.
Ragam Penampilan: Mozaik Gerak dan Karakter
Malam penutup ini menampilkan parade seni topeng yang nyaris tak terbatas. Dari Sanggar Tari Topeng Sailendra Kranggan Ngajum yang menghadirkan Topeng Klono Grebeg Sabrang, hingga Jurusan Seni Tari STKW Surabaya yang membawa Tari Pantek Uger — kisah puitis tentang proses lahirnya sebuah topeng dari sepotong kayu hingga menjelma wujud penuh makna.
Komunitas Arjasura (Arek Jawa Timur Surakarta) ISI Surakarta mengekspresikan Sekar Wewarah Padang, sementara Sanggar Wayang Topeng Setyo Tomo Glagah Dowo Tumpang membangkitkan energi dengan Topeng Grebeg Jawa. Dari Cirebon, Ade Irfan Adipati Wentar mempersembahkan Topeng Samba Palimanan Wentar yang penuh dinamika.
Tak kalah memikat, Biyang Agung Art Studio Sidoarjo menghadirkan Topeng Ndalem Arsawijaya dan Legong Pitaloka.
Gemuruh tradisi pun muncul lewat penampilan spektakuler Reyog Ponorogo Sardulo Djojo Kota Malang. Disusul ST Prapanca Pandaan Pasuruan dengan Topeng Rujit Asmara, Tari Engkang dari ibu-ibu Perempuan Bersanggul Nusantara Malang, Topeng Ragil Kuning dan Bapang oleh Sanggar Tari New Kamaya Singosari, hingga Topeng Kaliwungu dari Sanggar Abipraswara Lumajang.
Festival yang Merayakan Hidup
Rangkaian Kembul Topeng #3 tahun ini tidak hanya berfokus pada panggung, tetapi juga ritual, ziarah, arak-arakan topeng, hingga Umbul Dongo Mangayu Bagyo 36 Tahun Padepokan Seni Mangun Dharma Tumpang. Anak-anak turut diajak merayakan lewat lomba mewarnai topeng, sementara para pemuda berkompetisi dalam lomba tari. Ada pula pameran, bazar topeng, sarasehan, dan workshop, yang memperkaya dimensi festival ini.
Panggung besar juga diisi dengan Wayang Topeng Empat Penjuru Malang yang mwrepresentasikan identitas dan gaya topeng Malang, Joged Sepuh sang maestro tari topemg dari nerbagai daerah yang tampil memukau serta pertemuan lintas komunitas topeng dari Jawa hingga Bali.
Topeng dalam Dunia Akademik dan Komunitas Global
Salah satu hal yang membuat Kembul Topeng #3 terasa futuristik adalah keterlibatan institusi pendidikan seni terkemuka: ISI Surakarta, ISI Denpasar, ISI Yogyakarta, STKW Surabaya, UNESA Surabaya, Universitas Negeri Malang, Universitas Negeri Semarang, hingga berbagai SMKI dari sejumlah kota. Partisipasi mereka membuktikan bahwa seni topeng tidak lagi sekadar hidup di pedesaan, melainkan telah menjadi objek kajian akademis yang serius, jembatan antara tradisi dan ilmu pengetahuan modern.
Lebih dari itu, komunitas dan sanggar dari Jakarta, Cirebon, Indramayu, Majalengka, Jogjakarta, Surakarta, Klaten, Jombang, Situbondo, Bondowoso, Banyuwangi, Denpasar, Singaraja, Buleleng, hingga Pacitan turut serta, menciptakan peta kebudayaan topeng yang makin luas dan mendunia.
Jejak Malang Raya sebagai Episentrum Topeng
Sejak Jumat hingga Minggu, panggung Padepokan tak pernah sepi. Sanggar-sanggar topeng asal Malang Raya berjejer memberi warna: Kampung Budaya Polowijen, Sanggar Seni Denandar Batu, Topeng Bayu Candra Kirana Senggreng, Topeng Mantraloka Jabung, Topeng Madyo Laras Jatiguwi, Ngesti Pandowo Lowok Permanu, Topeng Galuh Candra Kirana Jambuwer, Sanggar Madyo Utomo Pijiombo Gunung Kawi, Sailendra Kranggan, Sanggar Topeng Setyotomo Glagah Dowo, Padepokan Asmorobangun Pakisaji, hingga Sanggar Topeng Dharmo Langgeng Gunungjati Jabung.
Keberagaman ini menjadikan Malang Raya seolah pusat orbit topeng Nusantara, tempat denyut tradisi terus dipelihara, tetapi juga diproyeksikan ke masa depan.
Topeng: Tradisi yang Menatap Esok Hari
Kembul Topeng #3 bukan hanya festival seni, tetapi sebuah deklarasi kultural. Ia membuktikan bahwa topeng adalah bahasa yang universal, mampu menyatukan desa dan kota, akademisi dan rakyat, generasi tua dan muda. Dalam tarian, gerak, dan ritualnya, topeng menghadirkan harapan bahwa tradisi tidak pernah usang — ia terus berevolusi, siap menyapa dunia di era modern.
Lewat Kembul Topeng, kita ingin menegaskan bahwa topeng adalah identitas sekaligus energi kolektif. Dari Malang Raya, kita berharap gaungnya terdengar ke seluruh Nusantara, bahkan ke panggung global,” ungkap Winarto Ekram, Penggagas Kembul Topeng #3 sekaligus Pimpinan Malang Dance Indonesia.
Dengan semangat kolaborasi lintas daerah, lintas generasi, dan lintas institusi, topeng Malang Raya kini tidak hanya menjaga warisan, melainkan juga merancang masa depan kebudayaan Nusantara. (Galih)
