Monwnews.com, Negara ini memang luar biasa. Setiap kali muncul pejabat baru, seolah ide lama dicetak ulang dengan nama keren. Dulu ada Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, lalu e-KTP yang katanya akan jadi “single identity number”.
Sekarang, Mensos Gus Ipul datang membawa versi terbaru dari dongeng lama: “Kartu Digital Bansos dengan barcode dari Bank Indonesia.”
Katanya agar lebih transparan, lebih akurat, lebih digital, lebih mulia. Tapi kalau dicium dari jauh, bau proyeknya lebih dulu sampai ketimbang manfaatnya.
Kita disuguhi jargon klasik: “digitalisasi untuk efisiensi dan akurasi data.” Padahal kalau bicara data, masalahnya bukan di analog atau digital. Masalahnya di otak yang tak mau memperbarui data dan niat yang separuh hati.
Penerima yang sudah meninggal masih terdaftar, yang sudah mampu masih dapat bantuan, yang benar-benar miskin malah terlewat. Itu bukan karena datanya ditulis di buku, tapi karena pejabatnya menulis sambil memejamkan mata.
Sekarang mereka ingin semua itu dipindahkan ke kartu digital — artinya, kesalahan lama akan diarsipkan dalam format .xml atau .csv.
Luar biasa, kita sedang menuju era digitalisasi kebohongan.
Logika sederhananya begini: kalau KTP sudah bisa dipakai untuk identifikasi, kenapa harus ada lagi kartu baru?
Bukankah tujuan e-KTP dulu supaya “satu kartu untuk semua urusan”?
Kalau masih butuh kartu tambahan untuk bansos, artinya e-KTP gagal total. Tapi siapa peduli? Yang penting proyek baru bisa dimulai, tender baru bisa dibuka, vendor baru bisa digandeng.
Ujungnya? Kartu baru, sistem baru, markup baru, dan — tentu saja — komisi lama dengan gaya baru.
Katanya, kartu digital ini punya barcode khusus dari Bank Indonesia, supaya dana bansos hanya bisa dibelanjakan di toko tertentu.
Lucu juga. Rakyat miskin tidak diberi kepercayaan untuk menentukan kebutuhannya sendiri. Seolah negara berkata: “Kamu terlalu bodoh untuk tahu apa yang kamu perlukan.”
Mau beli beras boleh, tapi kalau anaknya sakit dan mau pakai untuk obat, tidak bisa — karena “sistem” tidak mengenali penyakit.
Digitalisasi macam ini bukan tentang keadilan sosial, tapi tentang mengontrol rakyat kecil sampai ke isi belanjaan dapurnya.
Lebih lucu lagi, klaimnya: “angka kemiskinan turun signifikan.”
Kalau begitu, logikanya anggaran bansos juga turun, dong?
Tapi tidak. Anggaran bansos malah terus membengkak, dan sekarang ditambah lagi dengan “anggaran transformasi digital.”
Apa maksudnya?
Ya, kemiskinan memang turun — tapi biaya menurunkannya terus naik.
Seolah pemerintah sedang berusaha “mengentaskan kemiskinan” lewat jalan yang paling mahal: korupsi sistematis dibungkus inovasi.
Sementara itu, data di lapangan tetap carut-marut. Ribuan penerima bansos yang sudah meninggal masih masuk daftar, yang jelas-jelas mampu masih menerima bantuan, tapi kalau sistem disoroti — pejabatnya pura-pura buta.
Ada yang bilang, “nanti kalau digital, semua bisa dipantau real time.”
Tentu bisa. Tapi siapa yang pantau? Auditor independen atau vendor pemenang tender?
Kalau yang memantau adalah orang yang sama dengan yang mengelola, maka korupsi tinggal menunggu waktu — bukan lewat amplop, tapi lewat dashboard dan QR code.
Dan jangan lupa, proyek seperti ini selalu datang dengan embel-embel “uji coba di daerah percontohan.”
Biasanya Banyuwangi, karena pejabat suka tampil blusukan ke sawah sambil membawa kamera.
Setelah itu, semua dianggap sukses, padahal masyarakat cuma bingung: “Kok sekarang harus punya kartu lagi untuk dapat bantuan?”
Tapi begitulah pola lama: yang penting fotonya bagus, narasinya heroik, sisanya biarlah rakyat yang menyesuaikan.
Inilah watak rezim yang semakin gemar menjual citra teknologi: semua dibungkus “digitalisasi” agar terlihat modern, padahal isinya cuma pengulangan birokrasi manual dalam versi mahal.
Dulu korupsi bansos pakai amplop dan kuitansi palsu, sekarang pakai server dan barcode.
Dulu kongkalikongnya di gudang sembako, sekarang di meja tender cloud service.
Dulu rakyat ditipu lewat janji beras, sekarang lewat janji aplikasi.
Kalau pemerintah benar-benar ingin bersih, seharusnya yang pertama dilakukan adalah pemutakhiran data secara berkala, bukan pengadaan kartu baru.
Dan kalau benar ingin menekan korupsi, buka semua data penerima ke publik. Biar rakyat ikut mengawasi, bukan vendor.
Tapi tentu itu tidak mungkin, karena keterbukaan berarti membunuh ladang bisnis mereka sendiri.
Jadi, mari kita simpulkan:
Kartu Digital Bansos bukanlah bukti kemajuan, tapi simbol kerakusan yang disamarkan dengan istilah teknologi.
Barcode-nya mungkin dari Bank Indonesia, tapi niat di baliknya tetap dari “Bank Kepentingan”.
Kartu ini tidak dibuat untuk mempermudah rakyat miskin, melainkan untuk mempermudah pejabat menemukan proyek baru.
Dan ketika semua sudah digital, korupsinya pun ikut digital — cepat, rapi, dan sulit dilacak.
Indonesia memang tidak pernah kehabisan inovasi — hanya kehabisan rasa malu.
(Cak Bonang. Aktivis. Srawungan. AKAS. Arek Kampung Suroboyo. 10 Okt’25)












