Monwnews.com, Dodi Ilham Aktivis GN’98 dan Ketua Koperasi GOBER Indonesia mengirim surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia cq. Kementerian Koordinator PMK, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), pada Sabtu (4/10/2025)

Isi surat tersebut adalah sebagai berikut:
Pengembalian 30.000 artefak budaya Indonesia dari Belanda merupakan momentum bersejarah yang bukan hanya soal pemulangan benda fisik, tetapi juga tentang kedaulatan bangsa atas narasi, makna, dan potensi nilai tambah dari warisan leluhur kita.
I. Argumentasi Konstitusional
1. Pasal 32 UUD 1945 mengamanatkan negara memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia. Pemulangan artefak adalah implementasi konstitusional yang tidak boleh berhenti pada benda fisik, melainkan harus mencakup kedaulatan digital atas kekayaan budaya tersebut.
2. Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Artefak leluhur adalah bagian dari “kekayaan budaya bangsa” yang wajib dikelola sebagai sumber new wealth creation bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Tap MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam menegaskan prinsip keberlanjutan, keadilan, dan kedaulatan rakyat atas sumber daya bangsa. Warisan budaya adalah sumber daya non-materi yang strategis dan masuk dalam kerangka ini.
II. Ancaman “Digital Colonialism”
Kami menilai ada risiko besar apabila artefak hanya dikembalikan dalam bentuk fisik, sementara Belanda telah melakukan digitalisasi sebelumnya. Hal ini berpotensi menciptakan:
Digital Colonialism:
1. Indonesia menjadi “gudang fisik”, sedangkan nilai tambah digital (museum virtual, NFT, tur 3D, riset global) tetap dikuasai Belanda.
2. Kehilangan Narrative Power: narasi sejarah dan makna artefak tetap diceritakan oleh pihak asing, bukan oleh bangsa Indonesia sendiri.
3. Kerugian Ekonomi Kreatif: devisa dari museum digital, lisensi konten, dan industri kreatif berbasis artefak akan mengalir ke luar negeri, bukan ke rakyat Indonesia.
III. Teleologi: Indonesia Harus Berdaulat Penuh
Sejalan dengan teleologi kebangsaan:
“Indonesia Harus Berdaulat Penuh atas Kekayaan Budaya Warisan Leluhurnya.”
Kedaulatan ini mencakup tiga hal:
1. Kedaulatan Fisik – Artefak harus kembali dan dirawat di tanah air.
2. Kedaulatan Digital – Semua hasil digitalisasi harus dimiliki, diakses, dan dikendalikan oleh negara.
3. Kedaulatan Narasi – Indonesia yang menentukan cara artefak ditampilkan, ditafsirkan, dan dimanfaatkan dalam ekosistem pendidikan, pariwisata, dan ekonomi kreatif.
IV. Usulan Strategis
1. Negosiasi Diplomatik Lanjutan:
A. Memastikan Belanda menyerahkan hak digitalisasi penuh (data 3D, metadata, dokumentasi arsip).
B. Membuat perjanjian bahwa setiap artefak dikembalikan bersama aset digitalnya.
2. Digital Heritage Sovereignty
A. Membentuk Pusat Digitalisasi Warisan Budaya Nasional dengan dukungan BNSP, perguruan tinggi, dan koperasi teknologi.
B. Melakukan digitalisasi ulang di Indonesia untuk menjamin standar kedaulatan data.
3. Ekosistem New Wealth Creation
A. Membangun Museum Digital Indonesia dengan akses global berbayar.
B. Mengembangkan NFT, lisensi desain, dan konten kreatif berbasis artefak.
C. Mendorong riset, game edukasi, AR/VR, serta diplomasi budaya digital.
4. Koperasi sebagai Lokomotif
Koperasi pekerja dan koperasi digital menjadi wadah distribusi manfaat agar rakyat mendapat nilai ekonomi langsung.
V. Penutup
Pengembalian artefak ini bukan sekadar nostalgia dan romantisme sejarah, melainkan strategi kebangsaan untuk masa depan. Apabila kita lalai mengamankan aspek digital, maka Indonesia hanya akan menerima “cangkang” sementara nilai tambah globalnya tetap dikuasai asing.
Oleh karena itu, kami mendesak:
1. Presiden RI untuk memastikan pengembalian artefak mencakup kedaulatan digital dan narasi.
2. Kementerian terkait untuk segera membangun kerangka hukum, diplomasi, dan infrastruktur digital heritage nasional.
Hanya dengan begitu, bangsa Indonesia benar-benar berdaulat penuh atas kekayaan budaya warisan leluhurnya, sesuai amanat konstitusi, cita-cita kemerdekaan, dan orientasi teleologis bangsa.












